Selasa, 02 September 2014

My Adventure at Semeru Mountain



Hello. Setelah beberapa pekan menghilang, akhirnya muncul lagi di blog. Hehe.

Dan sekarang bisa mencoret salah satu gunung yang ada didaftar dreamlist-ku. Yap. Semeru. Aku telah menginjakkan kaki di gunung tertinggi di Pulau Jawa dan sudah absen disana kemarin. Lebih tepatnya tanggal 25-28 Agustus 2014.
Usai MPF atau Masa Perkenalan Fakultas selama tiga hari (Kamis-Sabtu), aku berangkat ke Malang di hari Minggu dengan kereta Majapahit pukul 17.20 dari stasiun Pasar Senen. Sedikit mendadak memang, sehingga kami tidak membawa banyak pasukan. Thanks to my beloved sista and brader, Meliana Dwi Utami dan Achmad Firdaus Sulthon yang sudah bersedia mengantarku kesana. Satu lagi teman baru yang kini ku panggil “ayah” atau Romadhon dan sering disapa dengan sebutan Madom ikut serta dalam perjalanan kami.
Setiba di Malang sekitar pukul sembilan pagi, ada Ariza Julian Hakim (Ian) dan Andre Hardiansyah (Andre) yang sudah menyambut dan menjemputku di stasiun Malang kota baru. Sekedar say hello dan menanyakan kabar,  lalu kami langsung tancap gas menuju tempat kos Mbak Meli yang berada di daerah Sumber Sari. Sesampainya disana kami berburu makanan di pasar dan supermarket untuk perbekalan nanti. Tak lama kemudian Mas Daus menghubungi dan telah menunggu di daerah Tumpang. Kami packing ala diklat yang menggunakan waktu dengan tempo sesingkat-singkatnya. Karena sudah bau asem seharian di kereta, aku memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum berangkat, mengingat nanti di gunung juga tidak akan mandi. Hehe.
Setelah bertemu di puskesmas Tumpang untuk mengurus surat keterangan sehat, kami meluncur menuju Ranu Pane. Pos perijinan untuk pendakian ke gunung Semeru. Ditengah perjalanan, motor beat yang kugunakan bersama Mas Daus tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai motor untuk mengangkut kami di beberapa tanjakan. Alhasil kami menyewa jasa ojeg penduduk setempat karena takut tidak keburu jam empat sore, pada jam itu pos perijinan ditutup dan para pendaki tidak diperkenankan naik.
Belum mendaki saja rasanya sudah beku jemari-jemari mungilku ini. Then, kami tiba tepat waktu. Registrasi selesai. Berdoa masing-masing di dalam hati agar diberi keselamatan hingga kembali sebelum memulai perjalanan yang cukup panjang. Betapa lelahnya, belum ada istirahat sama sekali setelah melakukan perjalanan dari Bogor-Malang. Haha, namun belum ada sedikitpun kata mengeluh waktu itu. Are you ready? Yes, I am!
Ku injakkan kakiku perlahan menyusuri jalanan setapak demi setapak. Semangatku masih membara hingga matahari mulai hilang dari peradaban. Melewati satu persatu pos yang tak ku perhatikan namanya karena gelap dan ingin cepat-cepat sampai di tempat camp. Istirahat sejenak di pertengahan jalan dan kembali meneruskan pendakian karena sangat dingin jika kami beristirahat terlalu lama. Oke. Tempat pertama yang kami tuju telah nampak. Ranu Kumbolo. So Amazing. Meskipun gelap, aku bisa melihat keindahannya dengan tenda-tenda berwarna-warni di sekitar danau. Sesegera mungkin kami mendirikan tenda. Lebih tepatnya mereka bertiga, aku hanya berkontribusi untuk memegangi senter sebagai penerang. Hehe. Maklum bisanya cuma itu. Mohon dimaafkan ya.
Tenda kami berempat <3
Tenda siap untuk digunakan. Kami memasak makanan ala kadarnya untuk memenuhi kantong di perut yang sedari tadi sudah menabuh genderangnya. Jika perut sudah kenyang tak ada hal lain yang lebih nikmat selain tidur untuk memenuhi stamina agar besok tetap fit melanjutkan perjalanan.
Wake up!!! Jangan sampai ketinggalan sun set di Ranu Kumbolo. Its so beautifull :” Aku tidak akan melupakannya, tanpa rekayasa atau berlebihan, memang begitu kenyataannya. Ranu Kumbolo memiliki keindahan tersendiri yang dapat membuat orang selalu merindukannya. Hehe. Come on, jangan terlena oleh Ranu Kumbolo. Kami harus melanjutkan perjalanan menuju tempat camp kedua. Kali Mati. Makan, packing tenda, dan berangkat.
 
Sun rise at Ranu Kumbolo


Tanjakan Cinta

Ups, tidak lengkap rasanya Ranu Kumbolo tanpa tanjakan cinta. Tanjakan yang mitosnya dapat mewujudkan impian mengenai doi yang kita idam-idamkan asal kita tidak melihat ke bawah. Hahaha. Itu hanya mitos, tapi apa salahnya untuk dicoba buat kalian para jombloers? Iya sih aku juga jomblo, tapi sayangnya tidak terbayang atau terbesit satu orangpun di kepalaku saat itu. Misi gagal.


Cemoro Kandang
Setelah melewati tanjakan cinta, sampailah kami di Cemoro Kandang. Rehat sejenak sembari mengobrol dengan para pendaki yang lain. Oke, jalan lagi mendaki lagi tanjakan lagi dan turunan sesekali. Tibalah saatnya dititik lelahku yang amat sangat. Duduk membelakangi yang lain, ketika ditegur agar melanjutkan perjalanan, air mataku seakan memancar layaknya kran. Lelahku tak tertahan, semuanya menghiburku, Mbak Meli memelukku seakan-akan ibu yang sedang memeluk anaknya dengan kelembutan. Dengan sedikit motivasi, aku melanjutkan perjalanan yang akhirnya sampai di pos Jambangan. Disana mereka membeli semangka yang sudah di potong-potong seharga dua ribu lima ratus per potongnya. Sayangnya aku kurang menyukai buah yang satu ini, sehingga aku hanya bisa menikmati kesegarannya dari aura wajah mereka yang berkilauan.
 Setelah mendaki tanjakan yang tak kunjung henti, tibalah kami menapaki sebuah turunan yang mengantarkan ke Kali Mati. Kenapa diberi nama Kali Mati? Konon, tempat ini adalah sungai yang kini sudah kering dan menjadi padang rumput yang menguning, cocok untuk para pendaki mendirikan tenda, seperti kami.
Empat personil di Kali Mati
 Rutinitas masih sama, mendirikan tenda, makan dan tidur. Kali ini kami tidur lebih cepat karena tepat jam dua belas malam nanti kami harus bangun untuk melanjutkan perjalanan ke puncak Mahameru. Tiktoktiktok, jam dua belas terasa begitu cepat. Kami harus mengumpulkan nyawa dan menyiapkan perbekalan terlebih dahulu untuk berangkat. Setelah semua siap pukul 01.00 dini hari kami meluncur.
Hening. Di dalam perjalanan yang teramat gelap itu kami lebih banyak diam. Sesekali bergurau dan menyalakan musik di salah satu handphone kami. Setelah melewati Arcopodo, tibalah kami di batas vegetasi. Dimana jalan menuju puncak hanya bertekstur pasir tanpa adanya pohon, rumput, ilalang atau sejenisnya. Pendakian yang sesungguhnya baru akan di mulai.
Tanjakan Frustasi -batasvegetasi-
Baru beberapa meter saja, rasanya sudah ingin pingsan. Aku ingin menangis kala itu, namun aku malu jika semuanya melihatku lagi-lagi menangis karena kelelahan. Matahari telah menampakkan wajahnya. Kami masih terus berjuang menuju puncak. Namun karena motivasi kurang dan kondisi yang semakin melemah, aku memutuskan menyerah di pertengahan jalan yang sangat begitu disayangkan. Puncak sudah terlihat, namun kaki ini sudah tidak sanggup untuk melanjutkan perjalanan. Aku tidak ingin menyusahkan ketiga temanku yang lain. Jika mereka menungguku yang berjalan lambat layaknya siput, mereka akan sampai di puncak siang hari. Sedangkan puncak hanya boleh dikunjungi oleh pendaki hingga pukul 10.00 saja karena ia akan mengeluarkan gas beracun yang mematikan itu.
Setelah sedikit beradu mulut dengan Mas Daus, akhirnya aku benar-benar duduk di bebatuan untuk mencari keteduhan, tanda menyerah. Sendiri. Lagi-lagi aku menangis. Jauh-jauh dari Bogor dan merelakan tenaga dan pundi-pundi rupiahku untuk ke Semeru namun tidak sampai puncak. Sedih memang, tapi meskipun hanya sampai disitu saja rasanya sudah menyenangkan. Ada kebanggaan, kepuasan, dan kenikmatan tersendiri ketika berada disana. Setidaknya aku pernah memperjuangkan puncak Mahameru dan telah menginjakkan kaki disana. Gunung yang sangat berkesan. Membuatku selalu merindukan kehadirannya dan aroma lembut kabut yang menyelimuti sepanjang jalan.
 
Tanah tertinggi pulau Jawa yang belum ku raih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar