Hello.
Setelah beberapa pekan menghilang, akhirnya muncul lagi di blog. Hehe.
Dan
sekarang bisa mencoret salah satu gunung yang ada didaftar dreamlist-ku. Yap.
Semeru. Aku telah menginjakkan kaki di gunung tertinggi di Pulau Jawa dan sudah
absen disana kemarin. Lebih tepatnya tanggal 25-28 Agustus 2014.
Usai
MPF atau Masa Perkenalan Fakultas selama tiga hari (Kamis-Sabtu), aku berangkat
ke Malang di hari Minggu dengan kereta Majapahit pukul 17.20 dari stasiun Pasar
Senen. Sedikit mendadak memang, sehingga kami tidak membawa banyak pasukan. Thanks
to my beloved sista and brader, Meliana Dwi Utami dan Achmad Firdaus Sulthon
yang sudah bersedia mengantarku kesana. Satu lagi teman baru yang kini ku
panggil “ayah” atau Romadhon dan sering disapa dengan sebutan Madom ikut serta
dalam perjalanan kami.
Setiba
di Malang sekitar pukul sembilan pagi, ada Ariza Julian Hakim (Ian) dan Andre
Hardiansyah (Andre) yang sudah menyambut dan menjemputku di stasiun Malang kota
baru. Sekedar say hello dan menanyakan kabar, lalu kami langsung tancap gas menuju tempat
kos Mbak Meli yang berada di daerah Sumber Sari. Sesampainya disana kami
berburu makanan di pasar dan supermarket untuk perbekalan nanti. Tak lama
kemudian Mas Daus menghubungi dan telah menunggu di daerah Tumpang. Kami
packing ala diklat yang menggunakan waktu dengan tempo sesingkat-singkatnya.
Karena sudah bau asem seharian di kereta, aku memutuskan untuk mandi terlebih
dahulu sebelum berangkat, mengingat nanti di gunung juga tidak akan mandi.
Hehe.
Setelah
bertemu di puskesmas Tumpang untuk mengurus surat keterangan sehat, kami
meluncur menuju Ranu Pane. Pos perijinan untuk pendakian ke gunung Semeru.
Ditengah perjalanan, motor beat yang kugunakan bersama Mas Daus tidak bisa
menjalankan fungsinya sebagai motor untuk mengangkut kami di beberapa tanjakan.
Alhasil kami menyewa jasa ojeg penduduk setempat karena takut tidak keburu jam
empat sore, pada jam itu pos perijinan ditutup dan para pendaki tidak
diperkenankan naik.
Belum
mendaki saja rasanya sudah beku jemari-jemari mungilku ini. Then, kami tiba tepat
waktu. Registrasi selesai. Berdoa masing-masing di dalam hati agar diberi
keselamatan hingga kembali sebelum memulai perjalanan yang cukup panjang.
Betapa lelahnya, belum ada istirahat sama sekali setelah melakukan perjalanan
dari Bogor-Malang. Haha, namun belum ada sedikitpun kata mengeluh waktu itu. Are you ready? Yes, I am!
Ku
injakkan kakiku perlahan menyusuri jalanan setapak demi setapak. Semangatku
masih membara hingga matahari mulai hilang dari peradaban. Melewati satu
persatu pos yang tak ku perhatikan namanya karena gelap dan ingin cepat-cepat
sampai di tempat camp. Istirahat sejenak di pertengahan jalan dan kembali
meneruskan pendakian karena sangat dingin jika kami beristirahat terlalu lama.
Oke. Tempat pertama yang kami tuju telah nampak. Ranu Kumbolo. So Amazing.
Meskipun gelap, aku bisa melihat keindahannya dengan tenda-tenda berwarna-warni
di sekitar danau. Sesegera mungkin kami mendirikan tenda. Lebih tepatnya mereka
bertiga, aku hanya berkontribusi untuk memegangi senter sebagai penerang. Hehe.
Maklum bisanya cuma itu. Mohon dimaafkan ya.
Tenda kami berempat <3 |
Tenda
siap untuk digunakan. Kami memasak makanan ala kadarnya untuk memenuhi kantong
di perut yang sedari tadi sudah menabuh genderangnya. Jika perut sudah kenyang
tak ada hal lain yang lebih nikmat selain tidur untuk memenuhi stamina agar
besok tetap fit melanjutkan perjalanan.
Wake
up!!! Jangan sampai ketinggalan sun set di Ranu Kumbolo. Its so beautifull :”
Aku tidak akan melupakannya, tanpa rekayasa atau berlebihan, memang begitu
kenyataannya. Ranu Kumbolo memiliki keindahan tersendiri yang dapat membuat
orang selalu merindukannya. Hehe. Come on, jangan terlena oleh Ranu Kumbolo.
Kami harus melanjutkan perjalanan menuju tempat camp kedua. Kali Mati. Makan, packing
tenda, dan berangkat.
Tanjakan Cinta |
Ups,
tidak lengkap rasanya Ranu Kumbolo tanpa tanjakan cinta. Tanjakan yang mitosnya
dapat mewujudkan impian mengenai doi yang kita idam-idamkan asal kita tidak
melihat ke bawah. Hahaha. Itu hanya mitos, tapi apa salahnya untuk dicoba buat
kalian para jombloers? Iya sih aku juga jomblo, tapi sayangnya tidak terbayang
atau terbesit satu orangpun di kepalaku saat itu. Misi gagal.
Cemoro Kandang |
Setelah
mendaki tanjakan yang tak kunjung henti, tibalah kami menapaki sebuah turunan
yang mengantarkan ke Kali Mati. Kenapa diberi nama Kali Mati? Konon, tempat ini
adalah sungai yang kini sudah kering dan menjadi padang rumput yang menguning,
cocok untuk para pendaki mendirikan tenda, seperti kami.
Empat personil di Kali Mati |
Rutinitas
masih sama, mendirikan tenda, makan dan tidur. Kali ini kami tidur lebih cepat
karena tepat jam dua belas malam nanti kami harus bangun untuk melanjutkan
perjalanan ke puncak Mahameru. Tiktoktiktok, jam dua belas terasa begitu cepat.
Kami harus mengumpulkan nyawa dan menyiapkan perbekalan terlebih dahulu untuk
berangkat. Setelah semua siap pukul 01.00 dini hari kami meluncur.
Hening.
Di dalam perjalanan yang teramat gelap itu kami lebih banyak diam. Sesekali
bergurau dan menyalakan musik di salah satu handphone kami. Setelah melewati
Arcopodo, tibalah kami di batas vegetasi. Dimana jalan menuju puncak hanya
bertekstur pasir tanpa adanya pohon, rumput, ilalang atau sejenisnya. Pendakian
yang sesungguhnya baru akan di mulai.
Tanjakan Frustasi -batasvegetasi- |
Baru
beberapa meter saja, rasanya sudah ingin pingsan. Aku ingin menangis kala itu,
namun aku malu jika semuanya melihatku lagi-lagi menangis karena kelelahan.
Matahari telah menampakkan wajahnya. Kami masih terus berjuang menuju puncak.
Namun karena motivasi kurang dan kondisi yang semakin melemah, aku memutuskan
menyerah di pertengahan jalan yang sangat begitu disayangkan. Puncak sudah
terlihat, namun kaki ini sudah tidak sanggup untuk melanjutkan perjalanan. Aku
tidak ingin menyusahkan ketiga temanku yang lain. Jika mereka menungguku yang
berjalan lambat layaknya siput, mereka akan sampai di puncak siang hari.
Sedangkan puncak hanya boleh dikunjungi oleh pendaki hingga pukul 10.00 saja
karena ia akan mengeluarkan gas beracun yang mematikan itu.
Setelah
sedikit beradu mulut dengan Mas Daus, akhirnya aku benar-benar duduk di
bebatuan untuk mencari keteduhan, tanda menyerah. Sendiri. Lagi-lagi aku
menangis. Jauh-jauh dari Bogor dan merelakan tenaga dan pundi-pundi rupiahku untuk ke Semeru namun
tidak sampai puncak. Sedih memang, tapi meskipun hanya sampai disitu saja rasanya sudah
menyenangkan. Ada kebanggaan, kepuasan, dan kenikmatan tersendiri ketika berada
disana. Setidaknya aku pernah memperjuangkan puncak Mahameru dan telah
menginjakkan kaki disana. Gunung yang sangat berkesan. Membuatku selalu
merindukan kehadirannya dan aroma lembut kabut yang menyelimuti sepanjang jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar