Kamis, 30 Juni 2016

Cahaya yang Tak Dirindukan

[TRUE STORY]

Ditulis pada: 29 Maret 2016






Maret, 26 2016. Seperti biasanya dikala long weekend tiba, aku melakukan pendakian yang bisa dibilang dadakan. Salah satu teman instagramku, masih dibawah satu almamater kebanggaan yang sama tiba-tiba mengajak mendaki gunung. Yap, gunung Salak. Gunung yang terkenal dengan beragam mitosnya di Jawa Barat. Gunung yang meleburkan pesawat Sukoi. Aku sama sekali tidak memikirkan hal negatif di gunung itu, tidak satupun. Aku hanya ber-positive thinking dan senang karena bisa mendaki lagi setelah sekian lama tidak bercumbu dengan kabut gunung.
Awalnya kami hanya bersepuluh orang. Entah kenapa, aku langsung menyetujui ajakan itu tanpa berfikir panjang. Merelakan berbagai agenda penting yang seharusnya dihadiri. Kami berkumpul di depan kampus, tempat teman-teman di kampusku berkumpul jika akan pergi fieldtrip. Tidak hanya kami, namun dari semua jurusan yang ada. Titik temu paling strategis adalah bank sebelah kampus kami, penjaganya ramah dan tidak menuntut apapun dari kebisingan yang ditimbulkan mahasiswa yang berkumpul dengan berbagai agendanya. Sesampainya disana, kami fix berangkat dengan 19 orang termasuk aku. Lima belas orang keturunan adam dan empat orang kaum hawa. Bisa dibilang cukup banyak untuk rombongan pendakian kecil yang biasanya hanya sekitar 8-10 orang. Namun bukan berarti ini pendakian massal.
Mobil eksklusif berwarna biru dengan siap siaga dan setia mengantar kami. Mobil yang sering dimaki karena menimbulkan kemacetan di Bogor, namun apadaya, kita membutuhkannya. Aku biasa menyebutnya, angkot. Kita terbagi menjadi dua mobil secara acak. Berkenalan satu sama lain dan beberapa mulai tertidur karena perjalanan yang cukup untuk mengistirahatkan mata. Satu jam berlalu, kami telah sampai di kaki gunung Salak. Udaranya sudah berbeda dengan udara di kampus. Suasanaya-pun sangat tenang dan damai. Kami menurunkan satu persatu barang bawaan dari mobil kesayangan dan mulai beranjak tanpa membuang waktu karena matahari telah bersinar terang bergerak menuju ubun-ubun.
Bergerombol menjadi beberapa bagian. Saling menyusul satu sama lain. Berganti pasangan dan tim berjalan. Bukan. Kami bukan membentuk sebuah geng, tapi kami satu team. Saling mem-backup dan menyegerakan beberapa orang yang membawa tenda dan logistik agar sampai ditempat terlebih dahulu. Tujuannya hanya satu, mereka sudah menyajikan makanan ketika kita baru sampai hehe.
Tempat muara kita adalah pos enam. Dimana terdapat cukup lahan untuk mendirikan tenda kita bermalam, melihat bintang dan bermain poker yang sudah dipersiapkan sebelum berangkat. Membayangkan betapa romantisnya bergurau bersama ditemani dengan api unggun dan menyantap ayam bakar. Hmm so delicious. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan? Pasti kata itu yang muncul jika membayangkan semua ini. Manusia hanya bisa berencana, namun garis penentuan hanya dimiliki oleh Tuhan bukan?
Mission complete. Kami sampai di pos enam dengan ontime. Lega rasanya ketika sudah sampai disana. Itu artinya, aku tidak perlu capek-capek untuk melangkahkan kaki lagi, karena perjalanan akan dilanjutkan esok hari. Setelah melihat kondisi di tkp, kami tidak memungkinkan untuk mendirikan lima tenda kecil yang dibawa demi menampung sembilan belas orang. Kami tertinggal satu langkah oleh pendaki lain. Mereka sudah mendirikan tendanya beberapa menit yang lalu. Finally, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan untuk sampai ke puncak dan mendirikan tenda disana. Kurang lebih tiga jam perjalanan lagi. Oke, tidak masalah. Demi mendapatkan tempat tidur yang nyaman, kita harus kembali berjuang.
Pukul 16.30 kami kembali melangkahkan kaki. Berusaha kembali mengangkat sendi-sendi kaki. Menginjakkan tanah, bebatuan dan bersentuhan lembut dengan dedaunan berduri. Tidak sampai sepuluh menit, awan bergumpal mulai tersenyum jahat. Mereka menjatuhkan air secara bersamaan, satu komando. Seperti siswa SMA yang datang keroyokan untuk tawuran. Segera mungkin kami mengeluarkan jas hujan, berhenti dan memakainya satu persatu. Menjaga kondisi tubuh agar tetap hangat, tidak basah kuyup, dan khusus untukku –agar tidak bocor karena sedang menstruasi. Detik, menit, dan jam berlalu terbunuh, jejak kaki tertinggal disepanjang jalan. Hari semakin gelap. Mata minusku mulai memburam. Kaca mata sengaja ku tinggal dikosan, aku juga tak sempat memakai softlens yang ada di tasku. Satu-satunya benda yang bisa menjaga mataku agar dapat menyorot dengan tajam. Aku tak peduli, kondisi sudah benar-benar larut, aku tidak mungkin memberhentikan rombongan hanya untuk memakai softlens, kondisi hujan besar, hanya berpatokan teman di depanku dan tetap melanjutkan perjalanan.
Puncak sebentar lagi. Beberapa dari kami sudah sampai disana. Berteriak memberikan pertanda bahwa kami akan tiba dan perjuangan kami akan berakhir. Tak ada kilat tak ada gemuruh. Seketika petir di depan mataku. Cahaya merah-ungu-kuning yang menyatu. Membentuk kekuatan terbaiknya. Menggelegar menyambar pohon di sebelahku yang langsung memantul ke tubuhku. Dahsyat. Tanpa memberikan aba-aba. Tanpa kompromi denganku terlebih dahulu. Aku tersengat percikan cahaya itu, terpental ke bawah dengan posisi kaki diatas dan kepala dibawah.
“Ngiiiiingggggg”. Hanya itu yang bisa kudengar. Jantungku berdetak dengan sangat cepat. Lebih cepat dibanding apapun. Lebih cepat dibanding detak orang yang sedang dilanda asmara. Aku tidak bisa merasakan tubuhku. Pikiranku sudah terbang melayang ke udara, bebas sebebasnya. Ingin berteriak meminta pertolongan, tapi tak satupun kata dapat terucap. Aku hanya pasrah dan merapal doa. Sebisaku. Pikiranku hanya satu, menyusul ibu dan kakakku ke tempat paling damai di surga-Nya. Aku tidak ingin pulang membawa kabar kelumpuhanku. Aku hanya ingin meninggal kala itu. Ya. Hanya kematian yang bisa menenangkan pikiranku.
Hujan lebat dan kegelapan masih menyelimuti, tak kunjung henti. Badanku yang masih terguling dengan posisi seperti itu dapat bertahan beberapa menit. Salah satu dari kami menemukanku, menyelamatkanku yang sudah tak berdaya. Ketiga perempuan lainnya telah dievakuasi menuju pos enam. Kembali ke bawah dan yang lainnya berteriak meminta pertolongan dan menyerukan agar kembali.  Keadaanku tidak memungkinkan kembali ke bawah, aku tidak bisa bergerak. Hanya tangan kiri yang mulai kurasakan dan dapat bergerak. Kaki kanan, kaki kiri, dan tangan kananku tak menampakkan keberadaanya di tubuhku. Tubuhku didekap, wajahku ditampar, diselimuti dengan jas hujan, diajak bicara sebisa mungkin agar aku masih tersadar. Aku hanya bisa memejamkan mata, menangis, dan menjawab semampuku –membuat orang sekelilingku sedikit lebih lega.
Berbagai pengalaman yang telah mereka lalui, membuat mereka semakin bijak. Mengendalikan emosi dengan baik dan tidak panik. Secepat mungkin mendirikan tenda untukku, mengahangatkan tubuhku, menyiapkan tempat istirahat, memangkas pohon di dekat lokasi kejadian yang sangat bertepatan dengan jurang. Mereka bekerja dengan tanggap, beberapa ada yang memasak, membuat minuman hangat, dan menghiburku. Perlahan badanku mulai bergerak. Telunjuk tangan kananku telah menunjukkan perkembangannya. Sedikit demi sedikit, keadaan mati rasa yang kurasakan tadi mulai kembali normal. Aku telah merasakan tangan-tangan mereka yang memijatku, membantuku mengembalikan rasa mati ditubuhku. Celana kiriku berlubang, terbakar oleh petir yang memantul ke tubuhku. Sebagian badanku tercabik dan beberapa titik telah melepuh seperti luka bakar dan berwarna hitam.
Wajah pucat pasi terlihat disemua temanku –keluarga baruku. Terlebih, ketua tim yang mengajakku untuk melakukan pendakian ini. Ia bersama yang lainnya menyelamatkan tiga perempuan yang sempat terkena shock akibat petir tadi. Semalaman aku dirawat dengan sembilan lelaki tangguh yang baru ku kenal kurang dari dua puluh empat jam. Percaya dengan mereka tanpa alasan apapun, karena hanya mereka yang kumiliki saat itu.
Aku bahagia keesokan harinya, ketika menyadari bahwa semua tubuhku dapat bergerak dengan normal meskipun bagian perut masih terasa kram dan terdapat beberapa luka perih di seluruh tubuh. Kembali berbincang, tertawa, dan berjalan menapaki hutan lebat seperti kemarin. Betapa bersyukurnya aku saat itu, tidak ada yang bisa kulakukan kecuali memanjatkan segala puji bagi Tuhan semesta alam. Setelah semua sudah dibereskan dan amunisi perut sudah terpenuhi, kami mulai turun menyusul rombongan lainnya.
Banyak hikmah yang aku dapatkan di perjalanan kali ini. Tujuan utama pendakian bukanlah puncak tapi kembali ke rumah dengan selamat dan meskipun perjalanan kita tidak lancar, bukan berarti tidak berkesan (Bayureksa 2016). Aku mencintai hujan. Bahkan aku rela menjemput hujan di kotanya. Aku juga menyukai cahaya, bahkan arti nama pemberian orang tuaku adalah pelita yang menerangi sekelilingnya. Namun aku mulai menghindarinya. Bukan. Bukan karena kini aku membencinya, tapi aku sedikit takut jika hujan datang membawa teman-temannya. Menampakkan dirinya dengan cahaya yang tidak kurindukan. Cahaya yang mengingatkanku malam itu, diambang kesunyian.


Terimakasih atas cerita asam, pahit, asin dan manisnya perjalanan kita kemarin, special for:
My team leader: Ka Alam
My ladies partner: Ka Pipit, Ka Kiki, dan Ka Dika
My lifesaver: Ka Uye dan Ka Oge
My DH Squad: Ka Don Gilang, Ka Gusti, Ka Jikem, Ka Salam, Ka Idham, Ka Kemal
Supported by:
My veterinarian: Ka Ago
My zuper lawalata: Aji dan Aziz
My lottemart’s manager: Bang Affan
My ex enginering from ITS: Bang Barus dan Bang Dayat
and... Me: Dian Permata Sari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar