Diikutsertakan dalam lomba Cerita Inspiratif KKN-T (November 2016)
Dian –begitulah
orang memanggilku, mahasiswi tingkat akhir di Institut Pertanian Bogor dengan
program studi Sains Komunikasi Pengembangan Masyarakat. Berasal dari Lamongan,
Jawa Timur dan menghabiskan masa kecil hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) di
Jawa. Seperti pada umumnya, telah kita ketahui bahwa budaya jawa terkenal
dengan keramahan orang-orang di sekitar meskipun kita belum mengenalnya.
Senyuman selalu terpancarkan dari rumah ke rumah, dari satu orang ke orang
lainnya. Sopan santun sangat dijunjung tinggi di Jawa, meskipun di tempat
tinggalku, kebiasaan menggunakan bahasa krama sudah hilang.
Ada sebuah daerah
yang menjadi impianku untuk berlabuh kesana. Sumatera Utara. Daerah yang belum
pernah sekalipun aku kunjungi selama 20 tahun usiaku, meskipun terdapat darah
Batak mengalir ditubuh. Aku sangat ingin mengunjunginya, menginjakkan kaki dan
melihat daerah kelahiran Ayah kandungku. Berbeda dengan saudaraku yang lain,
yang sudah berulang kali kesana, bahkan setiap tahunnya. Ya, aku sadar, aku
berbeda.
Kuliah Kerja Nyata
adalah salah satu jawaban dari doa-doaku selama ini. Hingga pada akhirnya, aku
memiliki satu kesempatan emas yang tak boleh terlewatkan. Diakhir semester lima
kami mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia IPB diberi kesempatan untuk memilih
tiga lokasi KKN. Tanpa berfikir panjang, aku mendaftarkan diri di Padang Lawas.
Beberapa minggu setelah pendaftaran, nama dan lokasi KKN pun di release. Aku sedikit deg-degan untuk melihat pengumuman
tersebut karena mendengar teman-temanku yang lain tidak mendapat lokasi KKN
seperti yang diharapkannya.
“Cie di Padang
Lawas, siap-siap ga mandi yaa”, tiba-tiba salah satu teman menegurku dengan
sapaan yang mengejutkan. Bukan. Bukan karena terkejut karena nantinya tidak
mandi disana, namun Ia mengatakan bahwa aku mendapatkan lokasi di Padang Lawas
sesuai yang aku harapkan.
Hari yang dinanti
pun tiba dan pada akhirnya aku menginjakkan kaki di Sumatera Utara. Aku
mengikuti KKN selama dua bulan dengan tiga orang temanku yang lain dengan latar
belakang jurusan yang berbeda. Kami ditempatkan di Desa Ganal, Kecamatan
Huristak, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Sehari penuh, mulai dari dini
hari menggunakan jalur darat dan udara hingga tiba di rumah kepala desa
masing-masing kelompok. Pukul 23.39 kami sampai di desa dan langsung
dipersilahkan untuk istirahat karena melihat raut wajah kami yang memang sangat
kelelahan.
Sultan Syarif Kasim International Airport |
Esok harinya, kami
ingin berkeliling desa untuk mengenal lebih dekat warga satu dan yang lainnya.
Ekspektasi kami sangat tinggi, dimana warga akan menyambut hangat kedatangan
kami dan mempersilahkan duduk di rumahnya sambil menyajikan hidangan yang ada.
Namun ketika keluar rumah dan mulai berkeliling, kami hanya melihat raut wajah
curiga dan pandangan sinis yang kami terima dari warga desa. Ketika dua orang
asing atau lebih saling bertemu, muncul ketidakpastian antara mereka berdua.
Situasi di mana perbedaan antar manusia menimbulkan keraguan dan ketakutan
dalam sebuah pertemuan antar budaya, yang kami menjadi orang asing (stranger)
dengan notabene orang jawa dan mereka adalah penduduk atau warga asli Batak.
Tentunya ada
perasaan gelisah antara kami dan warga. Perasaan tidak aman, nyaman, dan tidak
tahu bagaimana harus bersikap. Ketika kami mengulurkan senyuman, mereka tidak
membalasnya dengan senyum namun malah pergi meninggalkan kami. Tidak ada sapaan
“pinarak” seperti di jawa yang berarti “silahkan mampir”. Semua pintu rumah di
desa tertutup rapat. Hanya ada dua toko/warung kecil di desa tersebut.
Tarian Adat Manor-tor khas Batak Mandailing |
Hari pertama kami
disana, kebetulan terdapat warga yang sedang mengadakan pesta pernikahan. Kami
diajak Bapak Kepala Desa untuk mengunjungi dan melihat-lihat adat pernikahan
yang dilakukan disana yakni satu persatu baik dari keluarga mempelai pria
maupun wanita menari tor-tor. Kami sebagai pendatang menyapa pemuda-pemudi yang
hadir disana, mengajak berkenalan dan senyum seperti biasa. Tiba-tiba, ketika
belum sempat memperkenalkan diri balik, mereka langsung masuk menuju dapur.
Pernikahan Warga (Full team kelompok KKN-T) |
Awalnya kami
mengira bahwa perempuan tadi langsung menuju dapur karena enggan berkenalan
atau mengobrol dengan kami, ternyata setelah kami perhatikan, terdapat
kebiasaan bahwa semua anak gadis harus di dapur untuk menyiapkan, menyuguhkan,
dan membersihkan hidangan para tamu ketika ada pesta di desanya. Setelah
selesai dari dapur, gadis tersebut kembali keluar menemui kami dan
memperkenalkan dirinya.
Keesokan harinya,
kami kembali mengelilingi desa untuk berkenalan dengan warga baik ibu-ibu
maupun bapak-bapak yang ada. Namun mereka masih memandang kami acuh tak acuh,
sehingga kami pun serba salah untuk melakukan tindakan. Meskipun begitu, kami
tidak patah semangat. Satu persatu kami mendatangi rumah warga, meskipun mereka
tidak menyambut dengan baik, kami tetap bersikap ramah kepada mereka.
Perbedaan bahasa sangat terlihat
jelas. Masyarakat cenderung memakai bahasa lokal sehingga kami kesulitan dalam
berkomunikasi. Mereka mengetahui apa yang kami maksudkan, namun mereka tidak
dapat memberikan timbal balik menggunakan bahasa Indonesia. Apabila mereka
menjawab menggunakan bahasa lokal pun, kami juga tidak paham.
Warga cenderung kurang menerima
warga baru, namun ketika aku menjelaskan bahwa aku juga memiliki darah Sumatera
dengan marga Nasution, warga langsung antusias dengan kami. Selain melakukan pendekatan
kepada ibu dan bapak-bapak kami juga berbaur dengan anak-anak yang masih
memandang kami secara positif. Rasa
ingin tahu anak-anak yang tinggi membuat kami mudah untuk ikut bermain dan
mengakrabkan diri dengan mereka.
Kami diperingatkan oleh Pak Kades
bahwa jangan menerima makanan atau minuman sembarangan dari warga, karena ditakutkan
terdapat racun di dalamnya. Sudah banyak terjadi kasus seperti itu di desa-desa
lain. Warga yang tidak suka dengan orang lain langsung memberikan racun ataupun
guna-guna pada makanan maupun minuman yang disuguhkan.
Parlaungan Siregar, Kades Ganal |
Suatu ketika kami mampir di salah
satu rumah warga, biasanya tidak ada suguhan yang diberikan kepada kami namun
tiba-tiba ibu tersebut mengeluarkan minuman di teko dan makanan di
piring-piring kecil. Kami merasa canggung, gelisah, dan bingung. Apakah jamuan
yang disuguhkan ini tidak kami minum, jika tidak maka akan dianggap tidak sopan
–serba salah.
“Yuk
dek, dimakan dan diminum. Tenang nggak ada racunnya kok.” ucap sang ibu.
Seketika beliau seperti dapat
membaca pikiran kami. Beliau juga tak segan-segan ikut makan dan minum agar
menambah kepercayaan kami bahwa makanan dan minuman tersebut tidak beracun.
Kemudian beliau juga menceritakan kejadian-kejadian seperti itu disana, namun
tidak dilakukan oleh warga desa tersebut.
Beberapa minggu disana kami
menyadari begitu banyak perbedaan budaya antara kami dengan warga Padang Lawas,
Sumatera Utara. Selain bahasa, sikap dengan warga baru, juga masih banyak
lainnya. Masyarakat Padang Lawas kebanyakan masih tidak memiliki kamar mandi
pribadi (WC) di rumahnya. Bukan karena mereka miskin atau tidak memiliki biaya
membuat kamar mandi di rumah, namun karena kebiasaan melakukan aktivitas di
sungai. Anak perempuan sejak dari SD sudah diajarkan untuk mencuci piring dan
baju sendiri di sungai, membersihkan rumah, dan membantu semua pekerjaan ibu.
sungai Barumun tempat kami mandi |
sebelum mandi di sungai |
Rumah-rumah disana masih terbilang
sederhana, padahal warga memiliki kebun sawit yang cukup luas. Lagi-lagi bukan
karena kendala uang mereka tidak mau membangun rumahnya agar terlihat lebih
megah namun terdapat tradisi pesta yang sangat megah dan menghabiskan banyak
uang. Setiap melakukan hajatan, warga harus memotong kerbau sebagai hidangan,
mengundang gamelan-gamelan/ penyanyi musik modern setempat. Selain itu, mahar
pernikahan juga sangat tinggi sehingga warga juga menyiapkan uangnya untuk
keperluan pesta dan mengesampingkan perbaikan rumahnya.
Rumah warga |
Setelah akrab dengan warga, kami
dapat menjalankan program yang sesuai dengan potensi dan masalah yang ada
bersama warga. Terimakasih IPB dan pemerintah Padang Lawas, Sumatera Utara.
KKN-T telah mengajarkanku makna sabar, sederhana, dan pentingnya toleransi
budaya.
Salam Hangat,
Dian Permata Sari
keren kak, sangat inspiratif bagi saya
BalasHapus