Sabtu, 19 November 2016

KKN (Kisah Kultural Nyata)



Diikutsertakan dalam lomba Cerita Inspiratif KKN-T (November 2016)


Dian –begitulah orang memanggilku, mahasiswi tingkat akhir di Institut Pertanian Bogor dengan program studi Sains Komunikasi Pengembangan Masyarakat. Berasal dari Lamongan, Jawa Timur dan menghabiskan masa kecil hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jawa. Seperti pada umumnya, telah kita ketahui bahwa budaya jawa terkenal dengan keramahan orang-orang di sekitar meskipun kita belum mengenalnya. Senyuman selalu terpancarkan dari rumah ke rumah, dari satu orang ke orang lainnya. Sopan santun sangat dijunjung tinggi di Jawa, meskipun di tempat tinggalku, kebiasaan menggunakan bahasa krama sudah hilang.
Ada sebuah daerah yang menjadi impianku untuk berlabuh kesana. Sumatera Utara. Daerah yang belum pernah sekalipun aku kunjungi selama 20 tahun usiaku, meskipun terdapat darah Batak mengalir ditubuh. Aku sangat ingin mengunjunginya, menginjakkan kaki dan melihat daerah kelahiran Ayah kandungku. Berbeda dengan saudaraku yang lain, yang sudah berulang kali kesana, bahkan setiap tahunnya. Ya, aku sadar, aku berbeda.
Kuliah Kerja Nyata adalah salah satu jawaban dari doa-doaku selama ini. Hingga pada akhirnya, aku memiliki satu kesempatan emas yang tak boleh terlewatkan. Diakhir semester lima kami mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia IPB diberi kesempatan untuk memilih tiga lokasi KKN. Tanpa berfikir panjang, aku mendaftarkan diri di Padang Lawas. Beberapa minggu setelah pendaftaran, nama dan lokasi KKN pun di release. Aku sedikit deg-degan untuk melihat pengumuman tersebut karena mendengar teman-temanku yang lain tidak mendapat lokasi KKN seperti yang diharapkannya.
“Cie di Padang Lawas, siap-siap ga mandi yaa”, tiba-tiba salah satu teman menegurku dengan sapaan yang mengejutkan. Bukan. Bukan karena terkejut karena nantinya tidak mandi disana, namun Ia mengatakan bahwa aku mendapatkan lokasi di Padang Lawas sesuai yang aku harapkan.
Hari yang dinanti pun tiba dan pada akhirnya aku menginjakkan kaki di Sumatera Utara. Aku mengikuti KKN selama dua bulan dengan tiga orang temanku yang lain dengan latar belakang jurusan yang berbeda. Kami ditempatkan di Desa Ganal, Kecamatan Huristak, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Sehari penuh, mulai dari dini hari menggunakan jalur darat dan udara hingga tiba di rumah kepala desa masing-masing kelompok. Pukul 23.39 kami sampai di desa dan langsung dipersilahkan untuk istirahat karena melihat raut wajah kami yang memang sangat kelelahan.
Sultan Syarif Kasim International Airport
Esok harinya, kami ingin berkeliling desa untuk mengenal lebih dekat warga satu dan yang lainnya. Ekspektasi kami sangat tinggi, dimana warga akan menyambut hangat kedatangan kami dan mempersilahkan duduk di rumahnya sambil menyajikan hidangan yang ada. Namun ketika keluar rumah dan mulai berkeliling, kami hanya melihat raut wajah curiga dan pandangan sinis yang kami terima dari warga desa. Ketika dua orang asing atau lebih saling bertemu, muncul ketidakpastian antara mereka berdua. Situasi di mana perbedaan antar manusia menimbulkan keraguan dan ketakutan dalam sebuah pertemuan antar budaya, yang kami menjadi orang asing (stranger) dengan notabene orang jawa dan mereka adalah penduduk atau warga asli Batak.
Tentunya ada perasaan gelisah antara kami dan warga. Perasaan tidak aman, nyaman, dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ketika kami mengulurkan senyuman, mereka tidak membalasnya dengan senyum namun malah pergi meninggalkan kami. Tidak ada sapaan “pinarak” seperti di jawa yang berarti “silahkan mampir”. Semua pintu rumah di desa tertutup rapat. Hanya ada dua toko/warung kecil di desa tersebut.
Tarian Adat Manor-tor khas Batak Mandailing
Hari pertama kami disana, kebetulan terdapat warga yang sedang mengadakan pesta pernikahan. Kami diajak Bapak Kepala Desa untuk mengunjungi dan melihat-lihat adat pernikahan yang dilakukan disana yakni satu persatu baik dari keluarga mempelai pria maupun wanita menari tor-tor. Kami sebagai pendatang menyapa pemuda-pemudi yang hadir disana, mengajak berkenalan dan senyum seperti biasa. Tiba-tiba, ketika belum sempat memperkenalkan diri balik, mereka langsung masuk menuju dapur.
Pernikahan Warga (Full team kelompok KKN-T)
Awalnya kami mengira bahwa perempuan tadi langsung menuju dapur karena enggan berkenalan atau mengobrol dengan kami, ternyata setelah kami perhatikan, terdapat kebiasaan bahwa semua anak gadis harus di dapur untuk menyiapkan, menyuguhkan, dan membersihkan hidangan para tamu ketika ada pesta di desanya. Setelah selesai dari dapur, gadis tersebut kembali keluar menemui kami dan memperkenalkan dirinya.
Keesokan harinya, kami kembali mengelilingi desa untuk berkenalan dengan warga baik ibu-ibu maupun bapak-bapak yang ada. Namun mereka masih memandang kami acuh tak acuh, sehingga kami pun serba salah untuk melakukan tindakan. Meskipun begitu, kami tidak patah semangat. Satu persatu kami mendatangi rumah warga, meskipun mereka tidak menyambut dengan baik, kami tetap bersikap ramah kepada mereka.
Perbedaan bahasa sangat terlihat jelas. Masyarakat cenderung memakai bahasa lokal sehingga kami kesulitan dalam berkomunikasi. Mereka mengetahui apa yang kami maksudkan, namun mereka tidak dapat memberikan timbal balik menggunakan bahasa Indonesia. Apabila mereka menjawab menggunakan bahasa lokal pun, kami juga tidak paham.
Warga cenderung kurang menerima warga baru, namun ketika aku menjelaskan bahwa aku juga memiliki darah Sumatera dengan marga Nasution, warga langsung antusias dengan kami. Selain melakukan pendekatan kepada ibu dan bapak-bapak kami juga berbaur dengan anak-anak yang masih memandang kami secara positif. Rasa ingin tahu anak-anak yang tinggi membuat kami mudah untuk ikut bermain dan mengakrabkan diri dengan mereka.
Kami diperingatkan oleh Pak Kades bahwa jangan menerima makanan atau minuman sembarangan dari warga, karena ditakutkan terdapat racun di dalamnya. Sudah banyak terjadi kasus seperti itu di desa-desa lain. Warga yang tidak suka dengan orang lain langsung memberikan racun ataupun guna-guna pada makanan maupun minuman yang disuguhkan.
Parlaungan Siregar, Kades Ganal
Suatu ketika kami mampir di salah satu rumah warga, biasanya tidak ada suguhan yang diberikan kepada kami namun tiba-tiba ibu tersebut mengeluarkan minuman di teko dan makanan di piring-piring kecil. Kami merasa canggung, gelisah, dan bingung. Apakah jamuan yang disuguhkan ini tidak kami minum, jika tidak maka akan dianggap tidak sopan –serba salah.
Yuk dek, dimakan dan diminum. Tenang nggak ada racunnya kok.” ucap sang ibu.
Seketika beliau seperti dapat membaca pikiran kami. Beliau juga tak segan-segan ikut makan dan minum agar menambah kepercayaan kami bahwa makanan dan minuman tersebut tidak beracun. Kemudian beliau juga menceritakan kejadian-kejadian seperti itu disana, namun tidak dilakukan oleh warga desa tersebut.
Beberapa minggu disana kami menyadari begitu banyak perbedaan budaya antara kami dengan warga Padang Lawas, Sumatera Utara. Selain bahasa, sikap dengan warga baru, juga masih banyak lainnya. Masyarakat Padang Lawas kebanyakan masih tidak memiliki kamar mandi pribadi (WC) di rumahnya. Bukan karena mereka miskin atau tidak memiliki biaya membuat kamar mandi di rumah, namun karena kebiasaan melakukan aktivitas di sungai. Anak perempuan sejak dari SD sudah diajarkan untuk mencuci piring dan baju sendiri di sungai, membersihkan rumah, dan membantu semua pekerjaan ibu.
sungai Barumun tempat kami mandi
sebelum mandi di sungai
Rumah-rumah disana masih terbilang sederhana, padahal warga memiliki kebun sawit yang cukup luas. Lagi-lagi bukan karena kendala uang mereka tidak mau membangun rumahnya agar terlihat lebih megah namun terdapat tradisi pesta yang sangat megah dan menghabiskan banyak uang. Setiap melakukan hajatan, warga harus memotong kerbau sebagai hidangan, mengundang gamelan-gamelan/ penyanyi musik modern setempat. Selain itu, mahar pernikahan juga sangat tinggi sehingga warga juga menyiapkan uangnya untuk keperluan pesta dan mengesampingkan perbaikan rumahnya.
Rumah warga
Setelah akrab dengan warga, kami dapat menjalankan program yang sesuai dengan potensi dan masalah yang ada bersama warga. Terimakasih IPB dan pemerintah Padang Lawas, Sumatera Utara. KKN-T telah mengajarkanku makna sabar, sederhana, dan pentingnya toleransi budaya.

Salam Hangat,

Dian Permata Sari

1 komentar: