Selasa, 12 Agustus 2014

Singkat namun Bermakna


Cerpen : diikutsertakan dalam menulis kisah enam bulan asistensi PAI, TPB IPB

Singkat namun Bermakna
oleh Dian Permata Sari

Malam terakhir. Ya. Malam terakhirku di kampung halaman, itu artinya aku harus menjalani rutinitasku seperti biasanya. Rutinitas yang terkadang sedikit membosankan namun harus tetap kujalani demi masa depanku yang lebih baik. Genap satu semester aku menikmati masa TPB-ku dengan orang-orang baru. Susah memang beradaptasi, terlebih lagi dengan orang dari berbagai daerah yang jauh dan berbeda pulau.
Jadwal perkuliahan sudah di posting di website yang sudah menjadi langganan wajib untuk dikunjungi mahasiswa TPB. Aku meminta jadwal tersebut kepada teman melalui sms karena gangguan dalam koneksi internet. Sekilas aku melihat jadwal yang sedikit kurang bersahabat. Sebelum aku menutup jadwal yang sudah di kirim dengan detail ke ponselku itu, mataku tergelitik ketika melihat jadwal bertuliskan asistensi pendidikan agama Islam. Mungkin sedikit aneh, karena biasanya dalam mata kuliah lain menggunakan istilah responsi. Bayanganku seketika melayang pada teman-temanku semester lalu yang sudah mendapatkan mata kuliah tersebut. Wajib memakai kerudung dan menggunakan rok. Rasanya aku harus membongkar kembali seluruh isi almari untuk menemukan dua makhluk yang tak pernah ku kenakan saat kuliah. Sesuatu yang jarang  dibeli dan sedikit asing rasanya dalam keluargaku.
Welcome to Bogor Agricultural University, kampus yang harus kucintai selama kurang lebih empat tahun ini. Beradaptasi kembali dengan mata kuliah baru beserta dosen-dosennya. Masih ingin rasanya stay di rumah untuk beberapa minggu lagi. Namun pengisian amunisi selama tujuh minggu untuk pertempuran ketika UTS dan UAS segera dimulai. Pada minggu pertama masih terasa begitu cepat karena hanya sekedar say hello, profil dosen dan penjelasan mengenai kontrak kuliah yang pada intinya sama dalam seluruh mata kuliah meskipun ada beberapa perbedaan dalam penjelasan prosentase nilai.
Rabu pagi, saatnya pembagian kelompok asistensi yang dosennya sedikit terlambat untuk beberapa menit dan bisa kumanfaatkan untuk menikmati risol yang kubeli pada teman sekelas. Ketika semuanya selesai di bagi, kami berkumpul sesuai kelompok dan terdapat dua kakak asistensi yang menemani. Kupandangi seluruh detail pakaian dan style yang ia kenakan. Subhanallah! Hanya kata itu yang terlontar dalam batinku. Balutan kerudung yang berlapis-lapis dan rok panjangnya bak tirai tidak melunturkan kecantikan wajahnya yang anggun. Matanya teduh seakan memiliki kekuatan besar yang begitu hangat.
Tak kenal maka tak sayang- pepatah yang sangat mainstream di ucapkan ketika perkenalan dengan orang baru namun makna tersebut benar adanya. Saling berkenalan dan bertukar informasi mengenai pribadi masing-masing membuat kami langsung akrab dengan singkat- hanya dalam beberapa menit saja. Then, kita langsung melakukan pembentukan ketua, sekretaris dan bendahara kelompok serta kesepakatan mengenai jadwal asistensi kita untuk pertemuan selanjutnya.
Minggu depan. Mataku terbelalak mendapati jarum jam yang berdetak menujukkan pukul 06.15. Fix, aku telat dalam pertemuan pertama asistensi yang seharusnya pukul 06.00. Seharusnya aku tidak melakukan hal ini karena akan membentuk persepsi buruk kepadaku, namun apalah daya. Aku bergegas tanpa mandi dan hanya sikat gigi lalu menuju belakang  common class room. Pikiranku sudah menjalar kemana-mana bagai rumput liar yang tak beraturan panjangnya. Bayang-bayang wajah kakak asistensi yang akan memarahiku dan melontarkan seribu pertanyaan kepadaku nanti. Aku harus menyusun skenario dan alasan yang pas agar tidak terkena semprotan didepan teman-temanku.
Setibanya disana, mereka hanya tersenyum dan mempersilahkan aku duduk, tanpa melihatku sinis atau bahkan mengeluarkan amarahnya bak banteng yang bersungut-sungut seperti bayanganku tadi. Dengan rasa bersalah memotong diskusi yang sedang dilakukan, aku berkata jujur bahwa aku bangun kesiangan. Mereka tersenyum tulus dan bertanya “tadi pagi sholat subuh?”. Jleb. Pertanyaan sederhana yang tidak kupersiapkan jawabannya bahkan tidak terlintas di pikiranku mengenai hal itu. Aku terdiam untuk beberapa menit yang kemudian Kak Olga-begitulah namanya- mengulangi pertanyaan itu.
“Enggak kak”, jawabku singkat dengan senyum malu.
Ia membalas dengan ramah, memberikan gambaran-gambaran mengenai kerugian-kerugian meninggalkan sholat tanpa menyinggungku. Kemudian melanjutkan diskusi mengenai berhijab. Lantunan ayat suci keluar dengan indah dan fasihnya. Pertanyaan-pertanyaan lembutnya seakan-akan mengalir dan dengan mudahnya aku menjawab tanpa adanya perasaan bahwa ia sedang menginterogasiku dan mulai masuk dalam dunia pribadiku. Keluargaku yang memang masuk dalam kategori bebas atau bahkan kelewat bebas. Mengenakan pakaian mini kemana-mana, pulang larut hanya untuk sekedar bersenang-senang, memakai tatto, merokok tanpa melihat gender dan minum-minuman haram adalah hal yang biasa. Entah bagaimana caranya, orang yang baru saja ku kenal dan aku bisa dengan mudahnya menceritakan all about me dengan nyaman dan percaya.
Asistensi PAI yang awalnya ku anggap kaku dan menjenuhkan itu berubah drastis pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Ada rasa yang membuatku ingin berkumpul lagi untuk sekedar mendengar kakak asistensi yang menjelaskan seputar agama islam atau bahkan sharing mengenai kehidupan sehari-hari. Cerita, pengalaman, dan tauladan yang harus kita lakukan beserta ayat-ayat yang menyerukan berbagai hal dalam hidup, seakan-akan mengetuk hatiku yang sudah lama tertutup oleh debu bahkan penyakit hati. Kewajiban mengenakan kerudung tanpa melihat kelakuan atau akhlak seseorang menjadi salah satu contoh nyata bagiku. Aku memutuskan untuk memulai belajar memenuhi perintah nyata dari Allah.
Sholatku yang sebelumnya masih bisa dihitung dengan jari dalam satu minggu, kini sudah mulai lengkap. Meskipun awalnya terpaksa karena hanya untuk memenuhi lembar mutaba’ah yang wajib di isi dan kemudian diperiksa oleh kakak asistensi. Hal-hal kecil seperti tata cara makan dan minum yang baik mulai kubiasakan. Ada kenyamanan tersendiri di dalam hati kecilku. Bangunku mulai teratur dengan adanya sholat yang sudah menjadi kebutuhan dan kehidupanku seakan-akan terencana, menyenangkan.
Hal-hal positif kurasakan selama menjalani asistensi kurang dari 6 bulan ini. Perubahan sederhana tapi besar bagiku. Mungkin ini salah satu rencana Allah yang telah mempertemukanku dengan orang-orang sholeh di kampus. Begitu singkat namun memiliki makna yang dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar