Selasa, 12 Agustus 2014

Lembut Rambutku, Beruntungnya Hariku

Cerpen : diikutsertakan dalam ajang menulis Sunslik Soft and Smooth.

Lembut Rambutku, Beruntungnya Hariku
oleh Dian Permata Sari



Kala itu aku bangun pukul 06.43 dimana aku harus datang di tempat perkuliahan tepat pukul 07.00. Duniaku berasa hancur, aku harus melakukan segala rutinitas pagiku dengan super kilat dan tergesa-gesa. Akhirnya aku memutuskan untuk cuci muka dan gosok gigi, tidak lupa aku menyisir rambutku yang begitu lembut setelah kemaren sore aku keramas menggunakan Sunsilk Soft and Smooth yang telah lama ku pakai. Meskipun tidak mandi, aku tetap pede dengan rambutku yang terurai.

Tanpa menunggu lama, aku mengambil tas dan buku mata kuliah hari ini. Sambil berlarian aku berjalan ke depan kosan dengan mengacungkan jempolku berharap ada angkot yang lewat dan berhenti. Tak lama kemudian doaku didengar oleh Tuhan. Datanglah angkot biru, namun nasibku tidak baik pagi ini. Angkot tersebut full dan aku terpaksa berdesak-desakan. Aku tak menghiraukannya karena yang ada di otakku kali ini adalah bagaimana caranya agar aku bisa sampai kampus tepat waktu.
Sesampainya di depan kampus, ada seorang kakek membawa tongkat sedang terjatuh. Seketika kakiku berhenti melangkah. Pikiranku yang sedari tadi tertuju pada Pak Thomas, dosen biologi yang killer itu tiba-tiba lenyap. Aku membantunya berdiri dan menuntunnya ke pinggir. Tak tega rasanya meninggalkan beliau sendiri. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengikuti kelas biologi meskipun dia killer, tapi dosen itu masih muda dan ganteng.
Aku berusaha mencari solusi agar kakek tersebut bisa kembali ke rumahnya. Perlahan-lahan ku tanyai alamat dan bagaimana ceritanya beliau bisa sampai kesana. Kami berkenalan dan saling bertukar alamat. Ku tawarkan handphoneku agar beliau menghubungi anak atau cucunya. Dan kemudian dia mengeluarkan selembar kertas berisi deretan angka. Ku coba hubungi, lalu terdengar lelaki bersuara berat menjawab. Setelah kujelaskan mengenai apa yang menimpa kakek tersebut, dia panik dan segera akan kesana menjemputnya.
Sepuluh menit berlalu, mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan kami. Turunlah seorang pemuda yang tak asing dipandanganku. Tak salah lagi, dia dosen biologi yang killer itu. Aku menutupi wajahku dengan rambut, berharap dia tak mengenaliku dan tidak memberi tugas tambahan karena tidak masuk kelasnya sekarang. Saat aku ingin meninggalkan mereka berdua diam-diam, kakek itu memanggil namaku, langkahku semakin ku percepat. Tiba-tiba seseorang menarik tanganku, serentak aku menoleh dan mengibaskan rambut. Sebelum dia memarahiku, aku terlebih dahulu menjelaskan semuanya dan meminta maaf karena tidak hadir di kelasnya. Pak Thomas memandangku tajam, dia tertawa terbahak-bahak melihat wajahku yang ketakutan. 
Ternyata beliau adalah cucu dari Kakek Ramdon. Aku tersipu malu. Dia mengusap-usap ubun kepalaku. Sang kakek mengajakku untuk mampir kerumahnya, senang rasanya bisa melihat dosen killer itu tersenyum ramah kepadaku dan sekaligus mengunjungi rumahnya. Sungguh betapa beruntungnya aku hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar