Taken by: Yunita Nugraheni - kamera digital Canon IXUS 132 |
Kali
ini aku akan membagi perjalananku, tranportasi darat apa saja yang murah meriah
dan pengalaman tak terduga di Lampung – Mei 2016.
Liburan
kali ini, aku menghabiskan waktuku mengelilingi Bandar Lampung. Long weekend yang cukup untuk
menghilangkan hiruk pikuk kampus yang padat. Tanggal merah berderet yang
diakibatkan oleh Kenaikan Yesus Kristus dan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW,
sesuatu yang semakin langka untuk mahasiswa semester 6, namun aku harus bisa
menikmati semaksimal mungkin, bagaimanapun caranya.
Perjalanan
ini hanya direncanakan dua hari sebelum keberangkatan, itupun hanya sekedar
ngobrol alakadarnya dengan Yunita, teman sebelah kamar kosan yang berasal dari
satu daerah yang sama denganku. Hari yang ditunggu-pun tiba. Rabu malam. Dimana
semua mahasiswa berbondong-bondong kembali pulang ke rumah atau pergi berlibur.
Dan aku adalah mahasiswa dengan pilihan kedua.
Rencana
awal kita akan berangkat sekitar jam lima sore dari kosan, tapi apadaya, tugas
yang mengejarku dan menuntut untuk diselesaikan hari itu juga. Akhirnya aku
harus menyelesaikan semua tugas menumpuk agar perjalananku tenang. Selesai-lah
semua kewajiban itu sekitar jam delapan malam. Kemudian aku bergegas menyiapkan
barang-barang yang harus dibawa. Semua dikemas dalam satu ransel.
Setelah
mandi dan makan, aku dan Yunita pergi mencari angkot berlabel “kampus dalam” di
depan kosan dengan mengeluarkan Rp 4000,- untuk sampai di terminal Laladon.
Selanjutnya meluncur menuju terminal Baranangsiang sesegera mungkin menggunakan
angkot “03” dengan ongkos Rp 5.000,- untuk menaiki bus Arimbi tujuan pelabuhan
Merak. Meskipun jalanan tidak begitu macet, namun jarak tempuh angkot hingga
terminal Baranangsiang tetap sekitar satu jam. Dan sampailah kami berdua
jam sepuluh malam.
Melihat
kondisi terminal, kami tidak menemukan bus Arimbi yang berwarna kuning tersebut.
Setelah bertanya kepada petugas, ternyata bus tersebut terakhir beroperasi jam
tujuh malam. Kami terlambat. Harapan satu-satunya adalah transit menuju
terminal Kampung Rambutan-Pasar Rebo dan mencari bus disana, namun bus terakhir
menuju Kampung Rambutan pun jam sembilan malam. Kami telah terlambat satu jam.
Kami
bertanya-tanya mencari alternatif lain agar dapat berangkat. Setelah menunggu
sekitar dua puluh menit, terdapat travel datang membawa harapan. Kami
mengeluarkan uang Rp 16.000,- untuk sampai di tempat tujuan. Sesampai di
Kampung Rambutan, kami disarankan oleh beberapa orang untuk mencari bus arah
pelabuhan Merak di Pasar Rebo. Karena tidak tahu menahu rute disana, kami
langsung percaya dan menaiki angkot menuju Pasar Rebo dengan mengeluarkan kocek
Rp 3.000,-.
Lagi-lagi
kami menunggu. Kali ini lebih lama, sekitar dua jam, karena dua bus sebelumnya
penuh padat dan tak ada tempat duduk, sehingga kami sedikit bersabar agar
mendapatkan tempat yang nyaman. Setelah bus yang dinanti datang, kami duduk dan
terlelap. Uang yang perlu disiapkan untuk menaiki bus menuju Merak sekitar Rp
40.000,-.Tak terasa, jam setengah lima pagi kami telah sampai di Pelabuhan
Merak.
Kali
kedua menaiki kapal Fery yang sebelumnya menaiki kapal Fery tujuan Bali. Tiket
seharga Rp 13.000,- sudah ditangan dan kami menuju bagian atas kapal untuk
menikmati pemandangan laut di pagi hari. Pemandangan yang begitu luar biasa dan
pemandangan dari rombongan mas-mas kepala botak juga ikut menghiasi indahnya
laut di pagi hari, hehe.
Kapal Fery dari Pelabuhan Merak menuju Pelabuhan Bakauheni |
HORE!
Aku menginjakkan kaki di pulau Sumatera untuk pertama kalinya. Pelabuhan
Bakauheni, kami berdua bingung akan kemana, nantinya tinggal dirumah siapa atau
penginapan apa, dan masih banyak pertanyaan yang tak perlu dipikirkan begitu
dalam. Nikmati saja. “Semua akan baik-baik saja”
Aku
sangat menyukai gajah. Bukan karena badanku yang padat seperti gajah, tapi ia
adalah hewan yang sangat unik, pintar dan peduli dengan keluarganya. Akhirnya
kami memutuskan untuk menuju Taman Nasional Way Kambas. Kendaraan umum yang
biasa berjejer rapi dan berderet tak ada sama sekali kala itu. Hal tersebut
dikarenakan melonjaknya orang yang datang berlibur atau sekedar pulang kampung.
Semua bersih, tak ada kendaraan.
Tak
lama kemudian kami menjumpai Bapak calo travel untuk sampai ke Tridatu (daerah
Way Kambas) sehingga kami-pun tawar menawar harga hingga deal untuk ikut mobil
tersebut. Kocek yang dikeluarkan sebesar Rp 70.000,-. Cukup mahal bagi
mahasiswa bacpacker-an seperti kami.
Jarak yang di tempuh cukup jauh, kami menghabiskan waktu sekitar tiga jam untuk
sampai di Tridatu.
Sesampainya
di Tridatu, ekspektasi kami meleset. Aku kira, kami turun tepat di depan pintu
TNWK ternyata kami harus menempuh 16km lagi dari Tridatu untuk sampai di pintu
masuk Taman Nasional Way Kambas. Matahari mulai menyengat menuju ubun-ubun,
sebentar lagi akan berkumandang adzan Dhuhur sehingga kami memutuskan untuk
mencari mushola. Cuci muka, gosok gigi, makan dan sholat. Melihat kondisi
Tridatu yang sangat sepi dan tak ada kendaraan umum yang melintasi Taman
Nasional Way Kambas (TNWK), kami mulai memutar otak.
Awalnya
sedikit ragu dengan ide yang muncul dipikiranku ini, karena Lampung terkenal
dengan begal yang tak pandang bulu. Apalagi kami hanya dua gadis yang akan
menuju hutan lebat TNWK. Tapi, tak ada cara lain, aku harus mencobanya. Tak
lama kemudian, truk besar lewat dihadapanku. Hal tersebut adalah jalan mencapai
misi yang ada dipikiranku sebelumnya. Aku memanggil sopir truk dan mencoba
memberhentikannya untuk meminta tumpangan hingga gerbang TNWK. Melihat kami
berdua, entah apa yang ada dipikiran Bapak Toro (nama yang ia perkenalkan pada
kami) dia langsung percaya dan mengangkut kami di truknya.
Berbincang-bincang
hingga tertawa terbahak-bahak, aku mengutarakan perjalanan dan asalku, entah
bagaimana aku langsung cerita panjang lebar kepada orang yang tak ku kenal. Beliau
meminta KTP kami untuk memastikan bahwa kami memang dari Jawa, bukan seorang
begal. Bahkan penduduk asli sana saja masih takut dengan orang asing. Singkat
cerita, karena beliau sedang bertugas membongkar muatan pasir yang ada di
truknya, ia tidak bisa mengantar kami hingga TNWK, beliau menelpon salah satu
temannya untuk mengantarku dan Yunita sampai TNWK.
Yunita bersama Bang Naff |
Menunggu
beberapa menit di tengah hutan lebat, datanglah Bang Naff dengan mobilnya. Beliau
adalah teman Pak Toro yang akan mengantarkan kami ke Way Kambas. Entah kenapa,
saat itu aku benar-benar tidak ada kekhawatiran apapun, tidak ada rasa cemas
atau pikiran negatif dengan Pak Toro dan temannya. Aku bertemu dengan dua
malaikat yang tak segan membantu kami.
Lagi-lagi
aku bercerita mengenai perjalananku dari Bogor hingga sampai di Lampung. Kami
begitu cepat akrab dengan Bang Naff yang memang sebelumnya sangat curiga pada
kami berdua. Namun setelah mendengar ceritaku panjang kali lebar, beliau
mengantarku hingga Taman Nasional Way Kambas. Kami masuk TNWK secara gratis,
karena beliau merupakan mantan pengurus di TNWK sehingga semua orang sudah
mengenalnya. Tak hanya itu, kami diajak berkeliling ke tempat yang pengunjung
tidak boleh masuk. Betapa beruntungnya aku bisa menikmati hamparan luas taman
nasional bersama gajah-gajah.
Pintu masuk TNWK |
Pintu belakang TNWK |
Hamparan luas TNWK dengan gajah-gajah |
Kami
juga bisa menaiki gajah secara gratis untuk berkeliling karena petugas yang
sudah sangat akrab dengan Bang Naff.
Berkeliling menaiki gajah (gratis) |
Setelah
puas berkeliling Way Kambas, kami mampir menuju rumah Bang Naff untuk sholat
ashar dan mandi karena seharian kami belum sempat untuk mandi. Matahari mulai
tenggelam, kami bergegas untuk mencari kendaraan ke Bandar Lampung karena
keesokan harinya ingin menikmati indahnya pantai di Lampung. Namun, tak ada
satupun kendaraan umum yang bisa mengantar kami ke kota Bandar Lampung.
Jaraknya sangat jauh dan daerah ini berada di pelosok sehingga tak ada pilihan
lain selain menunggu pagi.
Ibu
dari Bang Naff sangat ramah, beliau sudah tua dan hanya tinggal berdua dengan
Bang Naff. Anaknya yang lain sudah menikah dan memiliki tempat tinggal
masing-masing. Ketika kami datang, beliau sangat senang dan menyambut hangat.
Kami mendapat makan dan penginapan gratis malam itu, tanpa harus mengeluarkan
kocek lebih di sebuah penginapan atau terlantar di masjid-masjid terdekat hehe.
Rumah Bang Naff |
Hari
kedua di Lampung, kami masih di daerah TNWK. Kami merasa sangat bugar dan
bersemangat untuk melanjutkan perjalanan karena istirahat yang cukup semalaman.
Bang Naff mengantarkan kami menuju tempat pemberhentian bus, beliau juga
memberikan kami ongkos untuk menaiki bus karena tidak bisa mengantar hingga
tempat tujuan. Kami menolak. Semua yang sudah dilakukan Bang Naff lebih dari
cukup.
Akhirnya
kami menaiki bus dengan tarif Rp25.000,- hingga pusat kota Bandar Lampung. Kami
berfoto-foto di tengah tulisan khas Bandar Lampung. Tak afdhol jika ke Lampung
tidak berfoto di tempat itu. Sebelum matahari benar-benar terik, kami
bertanya-tanya mengenai transportasi menuju dermaga Ketapang. Ada beberapa
orang yang menyarankan untuk naik ojek dengan harga Rp 100.000 hingga tempat
tujuan. Mendengar nominal tersebut, kami mencari cara lain agar sesuai dengan
kantong yang semakin menipis.
Icon Bandar Lampung |
Aku
mencari informasi kendaraan umum di mbah Google dan kami menemukan solusinya.
Pertama kami menaiki angkot dan turun di Ramayana sebesar Rp 4.000,- saja.
Kemudian kami naik angkot berwarna ungu jurusan Tanjung Karang dan berhenti di
Gudang Garam dengan ongkos Rp 4.000,- lagi.
Angkot ungu dari Ramayana menuju Gudang Garam |
Setelah
itu, disana banyak angkutan pick up yang menunggu untuk mengangkut kita hingga
Dermaga Ketapang dengan ongkos Rp 10.000,- yang membutuhkan waktu satu jam
perjalanan. Untung saja, kami tidak jadi menaiki ojek yang bisa membuat seratus
ribuku melayang.
Pick up dari Gudang Garam menuju Dermaga Ketapang |
Ditengah
perjalanan menuju dermaga Ketapang, aku berjumpa dengan ibu-ibu yang membawa
sayur dari pasar. Aku menyapanya dan mengobrol seputar pantai-pantai di
Lampung. Setelah bercerita banyak, ibu menawarkan kami menginap jika tidak ada
tumpangan nanti malam, beliau memberiku nomor handphone anak keduanya dan disuruh untuk miscall saat itu juga. Aku tidak menyimpan nomor tersebut, karena kami
akan tinggal di sebrang pulau dan itu hanya pertemuan singkat. Tak ada pikiran
atau terbesit sedikitpun untuk menginap di rumah ibu tersebut. Tak lama beliau berhenti
di depan rumahnya dan kami masih melanjutkan perjalanan.
Yeay,
dermaga Ketapang! Pulau Pahawang, I’m coming...
Dermaga 4 Ketapang |
Tiba-tiba,
setelah makan siang, hujan lebat datang mengguyur. Perjalananku menaiki perahu
menuju Pulau Pahawang gagal. Kami tidak bisa menyeberang ke pulau tersebut
karena hujan lebat yang tak kunjung henti hingga sore hari. Karena bosan, aku
mengecek handphone yang sedari tadi berada didalam tas. Ternyata terdapat
puluhan panggilan masuk dari nomor yang tak ku kenal. Akhirnya aku langsung
mengangkatnya ketika ia menelpon lagi.
Terdengar
suara perempuan paruh baya di seberang. Ternyata beliau adalah ibu yang bertemu
dengan kami di angkot tadi. Beliau menanyakan kami dimana, apakah sudah sampai
di Pulau Pahawang karena melihat cuaca yang kurang bagus. Aku menceritakan
keadaanya, kami gagal menyeberang hari itu. Tanpa basa basi, ibu menyuruh kami
untuk tetap disana dan anaknya yang bernama Wahyudin datang menjemput kami.
Kami
bertemu dengan Kak Wahyudin yang kemudian membawa kami ke rumahnya. Sang Ibu
sudah menyiapkan kamar untuk kami tempati malam ini. Beliau sudah menghidangkan
ayam bakar dan beraneka minuman untuk kami santap. Lagi-lagi kami bertemu
dengan malaikat di Lampung. Tak ada hubungan darah, suku, etnis, bahkan kenal
hanya beberapa menit saja di angkutan umum.
Icha, cucu dari Ibu malaikat (tempatku bermalam) |
Beliau
menyarankan untuk istirahat malam ini dan menikmati pantai esok hari ketika
cuaca cerah dengan anak bungsunya, Kak Oki. Pagi hari, semua perbekalan piknik
sudah disiapkan oleh Ibu. Mulai dari makanan, minuman, cemilan, hingga tikar
sudah tertata rapi. Kak Oki membawa pacar dan keponakannya ikut serta.
Semua
transportasi, kapal, makan minum ketika di pantai ditanggung oleh Ibu. Kami
bisa menikmati banyak pulau dalam satu waktu. Mulai dari Pulau Mahitam, Pasir
Timbul, Pulau Tegal, hingga Pantai Sari Ringgung.
Pulau Mahitam bersama Yunita |
Pulau Pasir Timbul |
Pulau Tegal, Full Team (Kak Oki, Icha, Kak Dian, Aku, Yunita) |
Pantai Sari Ringgung |
Sepulang
dari pantai, semua baju basahku di cuci oleh Ibu. Aku berusaha menolaknya namun
ibu tetap memaksa. Tengah malam aku diantarkan hingga tempat agen travel karena
harus kembali ke Bogor malam ini. Tak hanya itu, ibu membawakanku bekal untuk
makan di kapal ketika aku kelaparan, membawakan aku empat dus coklat, puluhan
batang sabun mandi, beberapa sikat gigi, pasta gigi dan bermacam lainnya
seperti anak sendiri yang kembali ke tempat rauntauannya.
Ongkos
travel menuju pelabuhan Bakauheni Rp 40.000,- kapal hingga pelabuhan Merak sebesar
Rp13.000,- bus Arimbi menuju terminal Baranangsiang Bogor Rp 36.000,- dan dua
kali angkutan umum hingga depan kosan Rp 9.000,-. Total ongkos transportasiku
mulai dari keluar kosan hingga kembali lagi didepan kosan selama empat hari
hanya sebesar Rp 292.000,- Alhamdulillah, aku tiba dan mendarat dengan sehat
walafiat.
Bersyukur
sekali aku memiliki dua keluarga baru di Lampung yang selalu menyambutku hangat
dan selalu bertukar kabar hingga saat ini. Semoga kebaikan mereka dibalas
berkali lipat oleh penguasa semesta. Kota yang dipenuhi oleh begal ternyata
masih memiliki sejuta malaikat di dalamnya. Tunggu foto lengkapnya di Youtube ya, Selamat berpetualang!
Kecup
basah,
Dian
Permata Sari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar