Sabtu, 19 November 2016

Lampung, Kota Begal dengan Sejuta Malaikat


Taken by: Yunita Nugraheni - kamera digital Canon IXUS 132

 
Kali ini aku akan membagi perjalananku, tranportasi darat apa saja yang murah meriah dan pengalaman tak terduga di Lampung – Mei 2016.
Liburan kali ini, aku menghabiskan waktuku mengelilingi Bandar Lampung. Long weekend yang cukup untuk menghilangkan hiruk pikuk kampus yang padat. Tanggal merah berderet yang diakibatkan oleh Kenaikan Yesus Kristus dan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW, sesuatu yang semakin langka untuk mahasiswa semester 6, namun aku harus bisa menikmati semaksimal mungkin, bagaimanapun caranya.
Perjalanan ini hanya direncanakan dua hari sebelum keberangkatan, itupun hanya sekedar ngobrol alakadarnya dengan Yunita, teman sebelah kamar kosan yang berasal dari satu daerah yang sama denganku. Hari yang ditunggu-pun tiba. Rabu malam. Dimana semua mahasiswa berbondong-bondong kembali pulang ke rumah atau pergi berlibur. Dan aku adalah mahasiswa dengan pilihan kedua.
Rencana awal kita akan berangkat sekitar jam lima sore dari kosan, tapi apadaya, tugas yang mengejarku dan menuntut untuk diselesaikan hari itu juga. Akhirnya aku harus menyelesaikan semua tugas menumpuk agar perjalananku tenang. Selesai-lah semua kewajiban itu sekitar jam delapan malam. Kemudian aku bergegas menyiapkan barang-barang yang harus dibawa. Semua dikemas dalam satu ransel.
Setelah mandi dan makan, aku dan Yunita pergi mencari angkot berlabel “kampus dalam” di depan kosan dengan mengeluarkan Rp 4000,- untuk sampai di terminal Laladon. Selanjutnya meluncur menuju terminal Baranangsiang sesegera mungkin menggunakan angkot “03” dengan ongkos Rp 5.000,- untuk menaiki bus Arimbi tujuan pelabuhan Merak. Meskipun jalanan tidak begitu macet, namun jarak tempuh angkot hingga terminal Baranangsiang tetap sekitar satu jam. Dan sampailah kami berdua jam  sepuluh malam.
Melihat kondisi terminal, kami tidak menemukan bus Arimbi yang berwarna kuning tersebut. Setelah bertanya kepada petugas, ternyata bus tersebut terakhir beroperasi jam tujuh malam. Kami terlambat. Harapan satu-satunya adalah transit menuju terminal Kampung Rambutan-Pasar Rebo dan mencari bus disana, namun bus terakhir menuju Kampung Rambutan pun jam sembilan malam. Kami telah terlambat satu jam.
Kami bertanya-tanya mencari alternatif lain agar dapat berangkat. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, terdapat travel datang membawa harapan. Kami mengeluarkan uang Rp 16.000,- untuk sampai di tempat tujuan. Sesampai di Kampung Rambutan, kami disarankan oleh beberapa orang untuk mencari bus arah pelabuhan Merak di Pasar Rebo. Karena tidak tahu menahu rute disana, kami langsung percaya dan menaiki angkot menuju Pasar Rebo dengan mengeluarkan kocek Rp 3.000,-.
Lagi-lagi kami menunggu. Kali ini lebih lama, sekitar dua jam, karena dua bus sebelumnya penuh padat dan tak ada tempat duduk, sehingga kami sedikit bersabar agar mendapatkan tempat yang nyaman. Setelah bus yang dinanti datang, kami duduk dan terlelap. Uang yang perlu disiapkan untuk menaiki bus menuju Merak sekitar Rp 40.000,-.Tak terasa, jam setengah lima pagi kami telah sampai di Pelabuhan Merak.
Kali kedua menaiki kapal Fery yang sebelumnya menaiki kapal Fery tujuan Bali. Tiket seharga Rp 13.000,- sudah ditangan dan kami menuju bagian atas kapal untuk menikmati pemandangan laut di pagi hari. Pemandangan yang begitu luar biasa dan pemandangan dari rombongan mas-mas kepala botak juga ikut menghiasi indahnya laut di pagi hari, hehe.
Kapal Fery dari Pelabuhan Merak menuju Pelabuhan Bakauheni



HORE! Aku menginjakkan kaki di pulau Sumatera untuk pertama kalinya. Pelabuhan Bakauheni, kami berdua bingung akan kemana, nantinya tinggal dirumah siapa atau penginapan apa, dan masih banyak pertanyaan yang tak perlu dipikirkan begitu dalam. Nikmati saja. “Semua akan baik-baik saja”
Aku sangat menyukai gajah. Bukan karena badanku yang padat seperti gajah, tapi ia adalah hewan yang sangat unik, pintar dan peduli dengan keluarganya. Akhirnya kami memutuskan untuk menuju Taman Nasional Way Kambas. Kendaraan umum yang biasa berjejer rapi dan berderet tak ada sama sekali kala itu. Hal tersebut dikarenakan melonjaknya orang yang datang berlibur atau sekedar pulang kampung. Semua bersih, tak ada kendaraan.
Tak lama kemudian kami menjumpai Bapak calo travel untuk sampai ke Tridatu (daerah Way Kambas) sehingga kami-pun tawar menawar harga hingga deal untuk ikut mobil tersebut. Kocek yang dikeluarkan sebesar Rp 70.000,-. Cukup mahal bagi mahasiswa bacpacker-an seperti kami. Jarak yang di tempuh cukup jauh, kami menghabiskan waktu sekitar tiga jam untuk sampai di Tridatu.
Sesampainya di Tridatu, ekspektasi kami meleset. Aku kira, kami turun tepat di depan pintu TNWK ternyata kami harus menempuh 16km lagi dari Tridatu untuk sampai di pintu masuk Taman Nasional Way Kambas. Matahari mulai menyengat menuju ubun-ubun, sebentar lagi akan berkumandang adzan Dhuhur sehingga kami memutuskan untuk mencari mushola. Cuci muka, gosok gigi, makan dan sholat. Melihat kondisi Tridatu yang sangat sepi dan tak ada kendaraan umum yang melintasi Taman Nasional Way Kambas (TNWK), kami mulai memutar otak.
Awalnya sedikit ragu dengan ide yang muncul dipikiranku ini, karena Lampung terkenal dengan begal yang tak pandang bulu. Apalagi kami hanya dua gadis yang akan menuju hutan lebat TNWK. Tapi, tak ada cara lain, aku harus mencobanya. Tak lama kemudian, truk besar lewat dihadapanku. Hal tersebut adalah jalan mencapai misi yang ada dipikiranku sebelumnya. Aku memanggil sopir truk dan mencoba memberhentikannya untuk meminta tumpangan hingga gerbang TNWK. Melihat kami berdua, entah apa yang ada dipikiran Bapak Toro (nama yang ia perkenalkan pada kami) dia langsung percaya dan mengangkut kami di truknya.
Berbincang-bincang hingga tertawa terbahak-bahak, aku mengutarakan perjalanan dan asalku, entah bagaimana aku langsung cerita panjang lebar kepada orang yang tak ku kenal. Beliau meminta KTP kami untuk memastikan bahwa kami memang dari Jawa, bukan seorang begal. Bahkan penduduk asli sana saja masih takut dengan orang asing. Singkat cerita, karena beliau sedang bertugas membongkar muatan pasir yang ada di truknya, ia tidak bisa mengantar kami hingga TNWK, beliau menelpon salah satu temannya untuk mengantarku dan Yunita sampai TNWK.
Yunita bersama Bang Naff
Menunggu beberapa menit di tengah hutan lebat, datanglah Bang Naff dengan mobilnya. Beliau adalah teman Pak Toro yang akan mengantarkan kami ke Way Kambas. Entah kenapa, saat itu aku benar-benar tidak ada kekhawatiran apapun, tidak ada rasa cemas atau pikiran negatif dengan Pak Toro dan temannya. Aku bertemu dengan dua malaikat yang tak segan membantu kami.

Lagi-lagi aku bercerita mengenai perjalananku dari Bogor hingga sampai di Lampung. Kami begitu cepat akrab dengan Bang Naff yang memang sebelumnya sangat curiga pada kami berdua. Namun setelah mendengar ceritaku panjang kali lebar, beliau mengantarku hingga Taman Nasional Way Kambas. Kami masuk TNWK secara gratis, karena beliau merupakan mantan pengurus di TNWK sehingga semua orang sudah mengenalnya. Tak hanya itu, kami diajak berkeliling ke tempat yang pengunjung tidak boleh masuk. Betapa beruntungnya aku bisa menikmati hamparan luas taman nasional bersama gajah-gajah.
Pintu masuk TNWK
Pintu belakang TNWK
Hamparan luas TNWK dengan gajah-gajah
Kami juga bisa menaiki gajah secara gratis untuk berkeliling karena petugas yang sudah sangat akrab dengan Bang Naff.

Berkeliling menaiki gajah (gratis)
Setelah puas berkeliling Way Kambas, kami mampir menuju rumah Bang Naff untuk sholat ashar dan mandi karena seharian kami belum sempat untuk mandi. Matahari mulai tenggelam, kami bergegas untuk mencari kendaraan ke Bandar Lampung karena keesokan harinya ingin menikmati indahnya pantai di Lampung. Namun, tak ada satupun kendaraan umum yang bisa mengantar kami ke kota Bandar Lampung. Jaraknya sangat jauh dan daerah ini berada di pelosok sehingga tak ada pilihan lain selain menunggu pagi.
Ibu dari Bang Naff sangat ramah, beliau sudah tua dan hanya tinggal berdua dengan Bang Naff. Anaknya yang lain sudah menikah dan memiliki tempat tinggal masing-masing. Ketika kami datang, beliau sangat senang dan menyambut hangat. Kami mendapat makan dan penginapan gratis malam itu, tanpa harus mengeluarkan kocek lebih di sebuah penginapan atau terlantar di masjid-masjid terdekat hehe.
Rumah Bang Naff
Hari kedua di Lampung, kami masih di daerah TNWK. Kami merasa sangat bugar dan bersemangat untuk melanjutkan perjalanan karena istirahat yang cukup semalaman. Bang Naff mengantarkan kami menuju tempat pemberhentian bus, beliau juga memberikan kami ongkos untuk menaiki bus karena tidak bisa mengantar hingga tempat tujuan. Kami menolak. Semua yang sudah dilakukan Bang Naff lebih dari cukup.
Akhirnya kami menaiki bus dengan tarif Rp25.000,- hingga pusat kota Bandar Lampung. Kami berfoto-foto di tengah tulisan khas Bandar Lampung. Tak afdhol jika ke Lampung tidak berfoto di tempat itu. Sebelum matahari benar-benar terik, kami bertanya-tanya mengenai transportasi menuju dermaga Ketapang. Ada beberapa orang yang menyarankan untuk naik ojek dengan harga Rp 100.000 hingga tempat tujuan. Mendengar nominal tersebut, kami mencari cara lain agar sesuai dengan kantong yang semakin menipis.
Icon Bandar Lampung
Aku mencari informasi kendaraan umum di mbah Google dan kami menemukan solusinya. Pertama kami menaiki angkot dan turun di Ramayana sebesar Rp 4.000,- saja. Kemudian kami naik angkot berwarna ungu jurusan Tanjung Karang dan berhenti di Gudang Garam dengan ongkos Rp 4.000,- lagi.

Angkot ungu dari Ramayana menuju Gudang Garam
Setelah itu, disana banyak angkutan pick up yang menunggu untuk mengangkut kita hingga Dermaga Ketapang dengan ongkos Rp 10.000,- yang membutuhkan waktu satu jam perjalanan. Untung saja, kami tidak jadi menaiki ojek yang bisa membuat seratus ribuku melayang.

Pick up dari Gudang Garam menuju Dermaga Ketapang
Ditengah perjalanan menuju dermaga Ketapang, aku berjumpa dengan ibu-ibu yang membawa sayur dari pasar. Aku menyapanya dan mengobrol seputar pantai-pantai di Lampung. Setelah bercerita banyak, ibu menawarkan kami menginap jika tidak ada tumpangan nanti malam, beliau memberiku nomor handphone anak keduanya dan disuruh untuk miscall saat itu juga. Aku tidak menyimpan nomor tersebut, karena kami akan tinggal di sebrang pulau dan itu hanya pertemuan singkat. Tak ada pikiran atau terbesit sedikitpun untuk menginap di rumah ibu tersebut. Tak lama beliau berhenti di depan rumahnya dan kami masih melanjutkan perjalanan.
Yeay, dermaga Ketapang! Pulau Pahawang, I’m coming...
Dermaga 4 Ketapang
Tiba-tiba, setelah makan siang, hujan lebat datang mengguyur. Perjalananku menaiki perahu menuju Pulau Pahawang gagal. Kami tidak bisa menyeberang ke pulau tersebut karena hujan lebat yang tak kunjung henti hingga sore hari. Karena bosan, aku mengecek handphone yang sedari tadi berada didalam tas. Ternyata terdapat puluhan panggilan masuk dari nomor yang tak ku kenal. Akhirnya aku langsung mengangkatnya ketika ia menelpon lagi.
Terdengar suara perempuan paruh baya di seberang. Ternyata beliau adalah ibu yang bertemu dengan kami di angkot tadi. Beliau menanyakan kami dimana, apakah sudah sampai di Pulau Pahawang karena melihat cuaca yang kurang bagus. Aku menceritakan keadaanya, kami gagal menyeberang hari itu. Tanpa basa basi, ibu menyuruh kami untuk tetap disana dan anaknya yang bernama Wahyudin datang menjemput kami.
Kami bertemu dengan Kak Wahyudin yang kemudian membawa kami ke rumahnya. Sang Ibu sudah menyiapkan kamar untuk kami tempati malam ini. Beliau sudah menghidangkan ayam bakar dan beraneka minuman untuk kami santap. Lagi-lagi kami bertemu dengan malaikat di Lampung. Tak ada hubungan darah, suku, etnis, bahkan kenal hanya beberapa menit saja di angkutan umum.

Icha, cucu dari Ibu malaikat (tempatku bermalam)
Beliau menyarankan untuk istirahat malam ini dan menikmati pantai esok hari ketika cuaca cerah dengan anak bungsunya, Kak Oki. Pagi hari, semua perbekalan piknik sudah disiapkan oleh Ibu. Mulai dari makanan, minuman, cemilan, hingga tikar sudah tertata rapi. Kak Oki membawa pacar dan keponakannya ikut serta.
Semua transportasi, kapal, makan minum ketika di pantai ditanggung oleh Ibu. Kami bisa menikmati banyak pulau dalam satu waktu. Mulai dari Pulau Mahitam, Pasir Timbul, Pulau Tegal, hingga Pantai Sari Ringgung.

Pulau Mahitam bersama Yunita
Pulau Pasir Timbul
Pulau Tegal, Full Team (Kak Oki, Icha, Kak Dian, Aku, Yunita)
Pantai Sari Ringgung
Sepulang dari pantai, semua baju basahku di cuci oleh Ibu. Aku berusaha menolaknya namun ibu tetap memaksa. Tengah malam aku diantarkan hingga tempat agen travel karena harus kembali ke Bogor malam ini. Tak hanya itu, ibu membawakanku bekal untuk makan di kapal ketika aku kelaparan, membawakan aku empat dus coklat, puluhan batang sabun mandi, beberapa sikat gigi, pasta gigi dan bermacam lainnya seperti anak sendiri yang kembali ke tempat rauntauannya.
Ongkos travel menuju pelabuhan Bakauheni Rp 40.000,- kapal hingga pelabuhan Merak sebesar Rp13.000,- bus Arimbi menuju terminal Baranangsiang Bogor Rp 36.000,- dan dua kali angkutan umum hingga depan kosan Rp 9.000,-. Total ongkos transportasiku mulai dari keluar kosan hingga kembali lagi didepan kosan selama empat hari hanya sebesar Rp 292.000,- Alhamdulillah, aku tiba dan mendarat dengan sehat walafiat.
Bersyukur sekali aku memiliki dua keluarga baru di Lampung yang selalu menyambutku hangat dan selalu bertukar kabar hingga saat ini. Semoga kebaikan mereka dibalas berkali lipat oleh penguasa semesta. Kota yang dipenuhi oleh begal ternyata masih memiliki sejuta malaikat di dalamnya. Tunggu foto lengkapnya di Youtube ya, Selamat berpetualang!
Kecup basah,

Dian Permata Sari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar