Jumat, 06 Januari 2017

DIAN's BUCKET LIST


Happy New Year 2017


I got challenges from ka Iqoh to write down my dreams in 2017. So sorry bcs I can finish it now. Hahahaa.. Okay, here’s my dream in this year, hopefully i can achieve all of yaaaaaa, Amin.

1. Sidang bulan Januari 2017, InsyaAllah kalo semua lancar tanggal 20 Januari. Semoga tidak hanya tercapai sidang di tanggal itu, tapi ketika proses sidang juga dosen pengujinya baik, aku bisa jawab semua pertanyaan dan hasilnya memuaskan. Amin.
2. Dapet kuota wisuda bulan Maret 2017, yang dateng kasih selamat, bunga, dan kado banyak yaa, orang-orang yang sayang sama aku yang pernah kenal selama di IPB pada dateng Amin.
3. Bulan Februari udah dapet pekerjaan. Kalau kerjanya di Jakarta, full time dan harus ngekos disana, semoga dapet gaji yang minimal 8juta perbulan hehe. Amin.
4. Tahun ini umrah bareng Bapak pake uang aku, pengen banget bisa ngebanggain Bapak, satu-satunya orang tua yang selalu support aku sampe sekarang. Berjuang buat menuhin kebutuhan aku, nyekolahin aku, biaya seneng-senengnya aku, dan belanja-belanja aku yang kadang ngabisin uang banget. Aku emang gabisa bales itu semua, tapi seenggaknya dengan bisa ngajak umrah dan pake biaya aku, Bapak pasti bangga dan senang. Amin YaRabb.
5. Punya Iphone 6s. Mau beli handphone baru tapi tahun ini harus pake uang sendiri ya! Amin.
6. Tahun 2017 minimal berkunjung ke tiga negara. Aku pengen ke Korea Selatan biar ketemu Lee Min Hoo hehe. Trus ke Hongkong, cuma pengen ke Disney Land disana aja. Sama ke Istanbul Turki, gatau kenapa dari dulu pengen banget ke kota satu ini. Banyak cerita budaya dan peradaban Islam disana. Semoga tahun ini bisa ke 3 negara ini ya! Amin.
7. Bisnis oriflame lancar. Baru join oriflame 5 Januari 2017 itu juga diajakin kakak aku, namanya Kak Erin. Masih ragu sih sama bisnis online gini, apalagi aplikasinya lemot banget di HP ku dan sekarang lagi musim UAS dan aku persiapan buat sidang. Tapi apa salahnya buat nyoba? Kalo kitanya seneng sih, semuanya juga bakal enjoy.
8. Bisnis AIA juga bisa dapet closingan. Aku resmi join di AIA tanggal 8 Desember 2016. Berarti udah berjalan hampir satu bulan. Harus bener-bener tau produknya karena ini menyangkut fasilitas asuransi untuk kesehatan klien seumur hidupnya, jadi jangan sampai salah informasi. Nah sayangnya pasar aku kalangan mahasiswa yang mereka masih dapet uang saku dari orang tua masing-masing, jadi susah banget nyari closingan. Semoga aja nanti di tempat kerja aku, bisa lancar berbisnis AIA juga ya? Amin.
9. Hi! Farm bisa berkembang dan maju, perlahan tapi pasti. Yeay. Komunitas baru tentang pemberdayaan petani yang kita dampingi mulai dari awal sampe akhir buat menyejahterakan kehidupan mereka. Disini nantinya kita juga akan memiliki produk pertanian yang dikemas dengan memiliki nilai jual yang tinggi. Semoga niat baiknya bisa berjalan terus ya, meskipun nanti bakalan kepisah-pisah tempatnya, kita bisa tetep keep in touch dan mengaplikasikan ilmu yang dimiliki masing-masing. Amin.
10. Dipertemukan sama jodoh HAHAHA. Baru dipertemukan dulu ya, bukan nikah tahun ini kok hehe.
11. Baju ga ketat-ketat lagi. Semua baju aku pasti press body dan suka pake legging atau joggerpants yang nempel. Semoga tahun ini bisa agak longgar ya pakaiannya hehe. Masih suka banget lepas kerudung, semoga bisa istiqomah nempel terus ya itu kerudungnya hehe. Amin.

Kayanya sebelas dulu yang lagi ada dipikiran aku sekarang dan pasti bakal nambah lagi impian-impian yang pengen dicapai di tahun 2017 ini seiring berjalannya waktu. Semoga dengan berbagi cerita disini bisa memotivasi kalian biar bikin beginian juga dan khususnya buat aku biar bisa mewujudkan semuanya.
DONT FORGET, buat yang baca postingan ini, juga ikut mengaminkan setiap impianku yaaaa. Semakin banyak yang mendoakan maka semakin cepat pula kita sampai di tujuan bukan? Amin.
So.... Ini mimpiku, mana mimpimu?

Selasa, 06 Desember 2016

Jelajah Museum Part 1

“Jas Merah – Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, itulah pesan dari Bung Karno (Presiden pertama Republik Indonesia)
Aku menyukai museum, dengan berkunjung ke museum itu artinya kita tidak membiarkan sejarah dan budaya hanya sebatas dongeng masa lalu. Kita bisa tau bagaimana bentuk bangunan, seni, artefak, benda-benda peninggalan lain yang memang nyata adanya.
Kemarin, aku berkesempatan #jelajahmuseum untuk mengantarkan my special roomate Miftakhun Naja mengunjungi Kota Tua, Jakarta. Kami datang terlambat – siang hari, karena pagi harinya kami sedang menjalankan event Sanggar Juara di Bundaran Hotel Indonesia, sehingga kami hanya bisa memasuki tiga museum yang ada disana.
Bagaimana cara menuju Kota Tua? Mudah sekali. Kamu bisa menggunakan transportasi umum commuterline atau sering disebut KRL dan berhenti di stasiun Jakarta Kota. Nah sampai di stasiun tersebut kamu bisa jalan kaki untuk menjelajahi museum-museum yang ada di Kota Tua.
Lets Go!
1. Museum Bank Mandiri
Buat kamu yang menyukai dunia perbankan, kamu bisa mengunjungi museum Bank Mandiri. Disana terdapat koleksi peralatan perbankan tempoe doloe dan perkembangannya. Ornamen bangunan, interior, dan furnitur masih tetap dalam kondisi asli sejak pertama bangunan itu berdiri.
Mifta dengan sepeda kayuh tempoe doloe
Becak mini
Mesin tik untuk membuat laporan era 90-an
Membaca cerita Bank Mandiri dari masa ke masa
Hal menarik disana yang masih membuat aku penasaran adalah VIP Room. Terdapat satu ruang VIP yang tidak diperbolehkan bagi pengunjung untuk memasukinya. Waktu itu, aku dan Mifta tidak tahu bahwa ruangan tersebut tidak boleh untuk dimasuki, sehingga kami sempat melihat kedalam yang kemudian Bapak Satpam menegur kami berdua. Di ruangan tersebut terdapat lemari, meja bundar, dan 5 kursi yang memutari meja. Kami masih bingung, kenapa ruangan tersebut dilarang dimasuki oleh pengunjung padahal hanya terdapat perlengkapan sederhana dan AC selalu dalam kondisi menyala bahkan terasa sangat dingin.
Suasana meja kerja teller
Tangga menuju lantai 2
Penanda arah ruang di lantai 2 Museum Bank Mandiri
Bagi pelajar atau mahasiswa kamu akan dikenakan biaya sebesar Rp 2.000,- untuk masuk ke museum Bank Mandiri. Lokasi: Jalan Lapangan Stasiun 1, Jakarta Barat.

2. Museum Bank Indonesia
Nah di museum ini, sama seperti museum Bank Mandiri yang menyajikan alat-alat atau teknologi perbankan pada zaman dahulu. Namun di museum Bank Indonesia sudah memiliki alat pendukung informasi yang lebih canggih, terdapat fasilitas LED, headphone di beberapa sisi dan menyajikan video-video seputar sejarah perkembangan sistem transaksi terdahulu. Mulai dari sistem barter, emas yang ditukarkan dengan bahan-bahan pokok, rempah-rempah, dsb. Kamu juga akan melihat jatuh bangun perekonomian di Indonesia, masa-masa krisis moneter sejak era pra kolonial, dan koleksi mata uang pertama yang dicetak oleh Indonesia hingga koleksi mata uang negara-negara lain di dunia.
Kaca-kaca yang dibentuk menyerupai gedung-gedung tinggi
Suasana balkon di Bank Indonesia
Foto ibu Megawati selaku mantan presiden RI
Bagi pelajar atau mahasiswa kamu tidak dikenakan biaya sama sekali atau gratis dengan menunjukkan identitas yang masih berlaku. Lokasi: Jalan Pintu Besar Utara No 3, Jakarta Barat. (Tepat di sebelah museum Bank Mandiri)

3. Museum Sejarah Jakarta
Museum ini adalah jantung Batavia Lama. Lebih dikenal dengan sebutan museum Fatahillah atau museum Batavia. Bangunan ini dulunya adalah sebuah Balai Kota di era kolonial Belanda. Terdapat artefak, lukisan, dan patung-patung di dalam museum ini yang menceritakan masa perjuangan Jakarta (yang dulunya Batavia) mulai dari zaman prasejarah hingga kemerdekaan Republik Indonesia.
Patung Pangeran Fatahillah
Suasana dari taman tengah museum Fatahillah
Salah satu prasasti yang ada
Di tengah museum, terdapat taman cantik dan beberapa tempat berteduh yang sudah di renovasi, disisi lain terdapat penjara wanita. Konon bagi orang-orang yang beruntung akan mencium wangi-wangian bunga disana, namun bagi pengunjung biasa akan mencium bau amis di penjara wanita tersebut.
Alun-alun depan Museum Fatahillah
Di depan museum ini, terdapat alun-alun besar yang dilengkapi air mancur yang berfungsi sebagai pemasok air ke rumah-rumah di sekitarnya. Alun-alun museum Fatahillah sangat ramai, banyak seniman yang memamerkan keindahan seni disana. Kamu juga bisa menyewa sepeda kayuh beraneka warna yang dilengkapi dengan topi cantik senada dengan sepeda yang kamu pilih.
Untuk masuk ke museum ini, kamu akan dikenakan biaya sebesar Rp 3.000,- saja bagi pelajar atau mahasiswa. Lokasi: Jalan Taman Fatahillah No.1, Jakarta Barat.

Kami juga menyempatkan diri untuk mampir di sebuah kafe yang sudah ada sejak zaman Belanda.  Bentuk dan isi di dalam kafe tidak berubah sama sekali, hanya saja ada beberapa renovasi di bagian luar kafe. Yups, Batavia Cafe. Harga memang relatif tinggi untuk ukuran kantong mahasiswa, namun makanan yang disajikan rasanya sebanding, jadi kalian tidak akan menyesal untuk mampir ke kafe ini. Nuansa Belanda sangat terasa, ornamen dan hiasan yang digunakan masih sangat klasik. Kita juga dapat menikmati live music yang menyajikan lagu-lagu Belanda dan lagu Indonesia tempoe doloe.
Nampak luar dari Batavia Cafe
Ruang tengah
Suasana klasik jaman dulu

Jika kamu kesulitan dengan arah tujuan kamu di Kota Tua, jangan ragu atau malu untuk datang ke pos informasi dan keamaanan. Disana akan disambut hangat oleh Bapak penjaganya lhoJ kalian juga akan mendapat citymap kota Jakarta, brosur, pocketmap, bookmark I love Jakarta, dan buku mengenai warisan budaya Jakarta.
Pak Ozi dan Pak Hendry penjaga pusat informasi
Oke, tunggu kisah #jelajahmuseum #visitmuseum #ilovemuseum selanjutnya bersama @diancnd yaa! Follow juga instagram @visitmuseum. Aku akan memberikan sedikit info-info menarik seputar museum lainnya. Salam sejarah dan budaya :)

Sabtu, 19 November 2016

KKN (Kisah Kultural Nyata)



Diikutsertakan dalam lomba Cerita Inspiratif KKN-T (November 2016)


Dian –begitulah orang memanggilku, mahasiswi tingkat akhir di Institut Pertanian Bogor dengan program studi Sains Komunikasi Pengembangan Masyarakat. Berasal dari Lamongan, Jawa Timur dan menghabiskan masa kecil hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jawa. Seperti pada umumnya, telah kita ketahui bahwa budaya jawa terkenal dengan keramahan orang-orang di sekitar meskipun kita belum mengenalnya. Senyuman selalu terpancarkan dari rumah ke rumah, dari satu orang ke orang lainnya. Sopan santun sangat dijunjung tinggi di Jawa, meskipun di tempat tinggalku, kebiasaan menggunakan bahasa krama sudah hilang.
Ada sebuah daerah yang menjadi impianku untuk berlabuh kesana. Sumatera Utara. Daerah yang belum pernah sekalipun aku kunjungi selama 20 tahun usiaku, meskipun terdapat darah Batak mengalir ditubuh. Aku sangat ingin mengunjunginya, menginjakkan kaki dan melihat daerah kelahiran Ayah kandungku. Berbeda dengan saudaraku yang lain, yang sudah berulang kali kesana, bahkan setiap tahunnya. Ya, aku sadar, aku berbeda.
Kuliah Kerja Nyata adalah salah satu jawaban dari doa-doaku selama ini. Hingga pada akhirnya, aku memiliki satu kesempatan emas yang tak boleh terlewatkan. Diakhir semester lima kami mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia IPB diberi kesempatan untuk memilih tiga lokasi KKN. Tanpa berfikir panjang, aku mendaftarkan diri di Padang Lawas. Beberapa minggu setelah pendaftaran, nama dan lokasi KKN pun di release. Aku sedikit deg-degan untuk melihat pengumuman tersebut karena mendengar teman-temanku yang lain tidak mendapat lokasi KKN seperti yang diharapkannya.
“Cie di Padang Lawas, siap-siap ga mandi yaa”, tiba-tiba salah satu teman menegurku dengan sapaan yang mengejutkan. Bukan. Bukan karena terkejut karena nantinya tidak mandi disana, namun Ia mengatakan bahwa aku mendapatkan lokasi di Padang Lawas sesuai yang aku harapkan.
Hari yang dinanti pun tiba dan pada akhirnya aku menginjakkan kaki di Sumatera Utara. Aku mengikuti KKN selama dua bulan dengan tiga orang temanku yang lain dengan latar belakang jurusan yang berbeda. Kami ditempatkan di Desa Ganal, Kecamatan Huristak, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Sehari penuh, mulai dari dini hari menggunakan jalur darat dan udara hingga tiba di rumah kepala desa masing-masing kelompok. Pukul 23.39 kami sampai di desa dan langsung dipersilahkan untuk istirahat karena melihat raut wajah kami yang memang sangat kelelahan.
Sultan Syarif Kasim International Airport
Esok harinya, kami ingin berkeliling desa untuk mengenal lebih dekat warga satu dan yang lainnya. Ekspektasi kami sangat tinggi, dimana warga akan menyambut hangat kedatangan kami dan mempersilahkan duduk di rumahnya sambil menyajikan hidangan yang ada. Namun ketika keluar rumah dan mulai berkeliling, kami hanya melihat raut wajah curiga dan pandangan sinis yang kami terima dari warga desa. Ketika dua orang asing atau lebih saling bertemu, muncul ketidakpastian antara mereka berdua. Situasi di mana perbedaan antar manusia menimbulkan keraguan dan ketakutan dalam sebuah pertemuan antar budaya, yang kami menjadi orang asing (stranger) dengan notabene orang jawa dan mereka adalah penduduk atau warga asli Batak.
Tentunya ada perasaan gelisah antara kami dan warga. Perasaan tidak aman, nyaman, dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ketika kami mengulurkan senyuman, mereka tidak membalasnya dengan senyum namun malah pergi meninggalkan kami. Tidak ada sapaan “pinarak” seperti di jawa yang berarti “silahkan mampir”. Semua pintu rumah di desa tertutup rapat. Hanya ada dua toko/warung kecil di desa tersebut.
Tarian Adat Manor-tor khas Batak Mandailing
Hari pertama kami disana, kebetulan terdapat warga yang sedang mengadakan pesta pernikahan. Kami diajak Bapak Kepala Desa untuk mengunjungi dan melihat-lihat adat pernikahan yang dilakukan disana yakni satu persatu baik dari keluarga mempelai pria maupun wanita menari tor-tor. Kami sebagai pendatang menyapa pemuda-pemudi yang hadir disana, mengajak berkenalan dan senyum seperti biasa. Tiba-tiba, ketika belum sempat memperkenalkan diri balik, mereka langsung masuk menuju dapur.
Pernikahan Warga (Full team kelompok KKN-T)
Awalnya kami mengira bahwa perempuan tadi langsung menuju dapur karena enggan berkenalan atau mengobrol dengan kami, ternyata setelah kami perhatikan, terdapat kebiasaan bahwa semua anak gadis harus di dapur untuk menyiapkan, menyuguhkan, dan membersihkan hidangan para tamu ketika ada pesta di desanya. Setelah selesai dari dapur, gadis tersebut kembali keluar menemui kami dan memperkenalkan dirinya.
Keesokan harinya, kami kembali mengelilingi desa untuk berkenalan dengan warga baik ibu-ibu maupun bapak-bapak yang ada. Namun mereka masih memandang kami acuh tak acuh, sehingga kami pun serba salah untuk melakukan tindakan. Meskipun begitu, kami tidak patah semangat. Satu persatu kami mendatangi rumah warga, meskipun mereka tidak menyambut dengan baik, kami tetap bersikap ramah kepada mereka.
Perbedaan bahasa sangat terlihat jelas. Masyarakat cenderung memakai bahasa lokal sehingga kami kesulitan dalam berkomunikasi. Mereka mengetahui apa yang kami maksudkan, namun mereka tidak dapat memberikan timbal balik menggunakan bahasa Indonesia. Apabila mereka menjawab menggunakan bahasa lokal pun, kami juga tidak paham.
Warga cenderung kurang menerima warga baru, namun ketika aku menjelaskan bahwa aku juga memiliki darah Sumatera dengan marga Nasution, warga langsung antusias dengan kami. Selain melakukan pendekatan kepada ibu dan bapak-bapak kami juga berbaur dengan anak-anak yang masih memandang kami secara positif. Rasa ingin tahu anak-anak yang tinggi membuat kami mudah untuk ikut bermain dan mengakrabkan diri dengan mereka.
Kami diperingatkan oleh Pak Kades bahwa jangan menerima makanan atau minuman sembarangan dari warga, karena ditakutkan terdapat racun di dalamnya. Sudah banyak terjadi kasus seperti itu di desa-desa lain. Warga yang tidak suka dengan orang lain langsung memberikan racun ataupun guna-guna pada makanan maupun minuman yang disuguhkan.
Parlaungan Siregar, Kades Ganal
Suatu ketika kami mampir di salah satu rumah warga, biasanya tidak ada suguhan yang diberikan kepada kami namun tiba-tiba ibu tersebut mengeluarkan minuman di teko dan makanan di piring-piring kecil. Kami merasa canggung, gelisah, dan bingung. Apakah jamuan yang disuguhkan ini tidak kami minum, jika tidak maka akan dianggap tidak sopan –serba salah.
Yuk dek, dimakan dan diminum. Tenang nggak ada racunnya kok.” ucap sang ibu.
Seketika beliau seperti dapat membaca pikiran kami. Beliau juga tak segan-segan ikut makan dan minum agar menambah kepercayaan kami bahwa makanan dan minuman tersebut tidak beracun. Kemudian beliau juga menceritakan kejadian-kejadian seperti itu disana, namun tidak dilakukan oleh warga desa tersebut.
Beberapa minggu disana kami menyadari begitu banyak perbedaan budaya antara kami dengan warga Padang Lawas, Sumatera Utara. Selain bahasa, sikap dengan warga baru, juga masih banyak lainnya. Masyarakat Padang Lawas kebanyakan masih tidak memiliki kamar mandi pribadi (WC) di rumahnya. Bukan karena mereka miskin atau tidak memiliki biaya membuat kamar mandi di rumah, namun karena kebiasaan melakukan aktivitas di sungai. Anak perempuan sejak dari SD sudah diajarkan untuk mencuci piring dan baju sendiri di sungai, membersihkan rumah, dan membantu semua pekerjaan ibu.
sungai Barumun tempat kami mandi
sebelum mandi di sungai
Rumah-rumah disana masih terbilang sederhana, padahal warga memiliki kebun sawit yang cukup luas. Lagi-lagi bukan karena kendala uang mereka tidak mau membangun rumahnya agar terlihat lebih megah namun terdapat tradisi pesta yang sangat megah dan menghabiskan banyak uang. Setiap melakukan hajatan, warga harus memotong kerbau sebagai hidangan, mengundang gamelan-gamelan/ penyanyi musik modern setempat. Selain itu, mahar pernikahan juga sangat tinggi sehingga warga juga menyiapkan uangnya untuk keperluan pesta dan mengesampingkan perbaikan rumahnya.
Rumah warga
Setelah akrab dengan warga, kami dapat menjalankan program yang sesuai dengan potensi dan masalah yang ada bersama warga. Terimakasih IPB dan pemerintah Padang Lawas, Sumatera Utara. KKN-T telah mengajarkanku makna sabar, sederhana, dan pentingnya toleransi budaya.

Salam Hangat,

Dian Permata Sari