Minggu, 10 Agustus 2014

Mohon Maaf Lahir dan Bathin



Marhaban ya Ramadhan. Taqobalallahuminna waminkum taqobbal yaa kariim. Sedikit terlambat jika baru di posting hari ini. Tapi tak pernah ada kata terlambat untuk sebuah kebaikan. Minnal aidzin wal faidzin. Maafkan kesalahan Dian, untuk segala sesuatunya. Apabila ada janji-janji yang teringkari, kata-kata yang menggores hati, kepercayaan yang disalahi, semua khilaf yang pernah dilakukan. Manusia memang tak luput dari kesalahan, orang yang mau meminta maaf adalah layaknya pangeran dan orang yang mau memaafkan bak ksatria tangguh tak terkalahkan.
Lebaran tahun ini rasanya kosong. Meskipun hari raya antara Muhammadiyah dan NU bersamaan, lebaran yang kata orang pasti ramai, tapi tidak untukku. Di sepertiga malam terakhir menuju shubuh mataku sudah terbelalak seperti terkena sengatan listrik yang memaksaku untuk terjaga. Mengingat masih banyak waktu luang aku bermalas-malasan di ranjang. Lalu mandi dan sholat subuh. Tak lama kemudian, aku memutuskan untuk berangkat ke masjid yang letaknya beberapa ratus meter dari rumahku.
Sendiri. Aku melakukannya sendirian. Tanpa ada seorang ibu, saudara, atau tetangga perempuan yang bergerombol bersama menuju masjid. Pikiranku kosong. Tak ada tujuan selain sholat sunnah Idul Fitri yang kusebut sebagai formalitas semata. Mungkin Allah membenciku akan hal ini, tapi memang begitulah adanya. Senyum kebahagiaan yang kusuguhkan kepada orang-orang yang melihatku hanya untuk menutupi kehambaran ini. Jabat tangan dengan orang yang tak kukenal sebelumnya namun merangkulku layak sahabat karib yang bertahun-tahun terpisahkan.
Asing. Sepertinya aku hanya membutuhkan teman saat ini. Berkumpul setiap tahun di rumah nenek, kali ini aku merasa sendiri dikeramaian. Sangat menyiksa batin, ingin rasanya kabur menyendiri di tempat yang jauh waktu itu. Tapi sebagai anak yang wajib berbakti kepada orang tua, aku harus mengikuti serangkaian acara dari pagi hingga senja. Kehampaanku semakin terasa karena kakak keduaku (Mas Aji) tidak hadir. Ia tengah berada di Malang hari itu, di rumah istri yang paling dicintainya.
Lega rasanya ketika senja telah sampai di rumah. Tanpa berfikir panjang, aku memutuskan untuk tidur di kamar rumah yang mungkin lebih pantas disebut kos-kosan. Aku memilih tidur sepanjang hari hingga fajar muncul daripada menemui tamu-tamu yang datang berkunjung ke rumah. Jalan pikirku memang sangat pendek karena merasa tak pernah punya salah dengan orang-orang sekitar yang memang jarang atau bahkan tak pernah bertemu, tapi sesungguhnya bukan itu alasan utama. Masih sama, tak nyaman dengan kondisi ini. Berpura-pura untuk bahagia di hari kemenangan padahal tidak merasakannya.
Fajar tiba, hang out dengan teman-temanku tercinta selama mengisi libur lebaran adalah pilihan paling tepat untukku. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar